Nanang Supriatna: Intoleransi di Jawa Barat Bertentangan dengan Nilai Kesundaan

Nanang Supriatna: Intoleransi di Jawa Barat Bertentangan dengan Nilai Kesundaan

Dr Liona Nanang Supriatna. Pakar Hukum Hak Asasi Manusia Universitas Katolik Parahyangan-Nanang Supriatna-Nanang Supriatna

BACA JUGA:Saat Sistem Ekonomi Lama Tak Lagi Relevan, Circular Economy Jadi Jawaban atas Krisis Lingkungan

Hak-hak di atas, sambung Liona, adalah merupakan hak asasi yang tidak bisa dikesampingkan, dikurangi dan atau ditunda dengan alasan apapun dan oleh siapapun sekalipun dalam keadaan perang (non-derogable rights), seperti yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia (vide Pasal 4 (2).

Menurut Presiden The Best Lawyers Club Indonesia, yang juga merupakan Penasihat Pemuda Katolik (PK) ini, kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diatur dalam Pasal 18 ICCPR dibagi menjadi: pertama, Forum Eksternum, hal ini berkaitan erat dengan bagaimana umat menjalankan keyakinan, bagaimana mempraktikan dan mengamalkan setiap keyakinan agama atau kepercayaannya.

Eksternum, karena sifatnya sebagai manifestasi (eksternal) dari nilai-nilai internal keagamaan, misalnya beribadat di Masjid, Gereja, Klenteng, Pura hal ini perlu Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) atau Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), ijin dari negara untuk melindungi hak-hak yang dijamin oleh kovenan, termasuk hak atas kesetaraan dan non diskriminasi dibidang apapun.

Kedua. Forum Internum, merupakan HAM yang tidak bisa dihilangkan (inalienable right) yang dijamin oleh negara atas penghormatan terhadap martabat (dignity) manusia yang mandiri, Forum internum adalah hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tidak boleh dibatasi, tanpa pengecualian, semisal sembahyang  di Musholla, di Kapel, di Rumah Pribadi, hal ini tidak memerlukan perijinan.

“Negara memiliki kewajiban positif untuk menciptakan kondisi yang mendukung hak setiap orang untuk menikmati hak dan kebebasan secara utuh,” ujar Anggota Dewan Kehormatan Peradi ini.

Liona menilai, Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, menimbulkan banyak permasalahan dalam masyarakat, bahkan PBM ini merupakan pangkal dari intoleransi dan ketidakharmonisan hubungan antar umat beragama, PBM ini seringkali digunakan untuk menghambat kelompok minoritas untuk membangun tempat ibadah.

Rencana pemerintah untuk menaikkan status regeling tersebut dari PBM menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tidaklah cukup. Perlu adanya Undang Undang sebagai payung hukum yang mengatur tentang Persetujuan Bangunan Gedung tempat ibadah, yang tidak bersifat restriktif terhadap minoritas seperti PBM 2 menteri di atas.

BACA JUGA:15 Tanaman Hias yang Cocok Ditanam di Balkon, Cantik dan Harum!

Saat ini, pemerintah telah menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui UU 6/2023), dalam Perppu mengatur tentang Perubahan Perizinan Penyederhanaan persyaratan perizinan, meliputi Persetujan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF).

“Perubahan pengaturan PBG/IMB dan peraturan pelaksananya tidak mengubah ketentuan khusus mengenai pendirian rumah ibadah yang terdapat dalam Pasal 14 PBM Pendirian Rumah Ibadat, dengan demikian Pasal 14 PBM bertentangan dengan tujuan dari perubahan pada Undang Undang PBG yang menyederhanakan perizinan bagunan gedung untuk tempat ibadah,” pungkas Alumni Lemhannas RI PPRA Angkatan 58 tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News