JAKARTA, PostingNews.id — Menteri Agama Nasaruddin Umar tampak percaya diri membawa misi besar dari Istana. Ia menyebut Kementerian Agama telah menyiapkan jalur pendidikan darurat skala internasional untuk anak-anak Palestina yang buta huruf dan lama tercecer dari sekolah. Targetnya bukan sekadar menerima pengungsi, melainkan membuka kampus dan pesantren sebagai ruang belajar baru bagi generasi yang tumbuh di tengah reruntuhan perang.
Langkah ini, menurut Nasaruddin, adalah tindak lanjut langsung atas amanat Presiden Prabowo Subianto. Artinya, bila rencana ini berjalan, UIN dan pesantren bukan lagi sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga tempat pemulihan masa depan anak-anak korban konflik kemanusiaan.
“Pak Prabowo akan mengundang orang-orang yang buta huruf, yang putus sekolah sekian lama di Palestina. Kami sudah menginventaris UIN atau pesantren mana anak-anak itu seandainya akan datang,” ujar Menag saat menghadiri acara Indonesia’s Contribution to Contemporary Global Peace and Conflict Resolution di Auditorium UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis, 27 November 2025.
Nasaruddin memastikan kementeriannya sudah standby menunggu aba-aba. Ia menekankan bahwa pemerintah tidak ingin ada satu pun anak Palestina terjebak dalam gelap huruf-huruf dasar. “Anak-anak tidak boleh buta huruf, tidak boleh menderita. Pak Presiden berkali-kali menyampaikan bahwa pemerintah siap memastikan keamanan dan kelancaran program ini,” kata dia.
BACA JUGA:Jokowi Bilang Tak Pernah Meresmikan Bandara IMIP, Jadi Siapa yang Potong Pita?
Sampai di sini, Kemenag masih menunggu tombol hijau dari Presiden sebelum memulai distribusi dan penempatan peserta. “Kami menunggu perintah Bapak Presiden. Kami sudah dalam tahap pendataan apa saja yang perlu dipersiapkan,” ucapnya. Seolah hanya perlu selembar instruksi, lalu kampus dan pesantren bersiap menggelar karpet pendidikan.
Bukan sekali ini Indonesia mengadopsi proyek belajar lintas konflik. Nasaruddin mengingatkan pengalaman serupa soal Afghanistan. “Kita pernah mengirim sekitar 300 anak-anak Afghanistan ke sejumlah pesantren di Pulau Jawa saat negara mereka berkonflik. Jika anak Palestina ingin menuntut ilmu di Indonesia, kami sudah siap,” ucapnya.
Ia menegaskan sistem pendidikan Islam nasional memiliki daya tampung yang tak kecil dan siap menampung gelombang siswa dari zona perang. “Kita punya 58 UIN yang siap menjalankan rencana tersebut. Ini akan menjadi nama besar Bapak Prabowo, nama besar Indonesia, dan bentuk nyata kebersamaan kemanusiaan,” katanya. Pernyataan ini terdengar seperti ingin memastikan bahwa program solidaritas juga datang dengan nilai branding geopolitik yang lumayan jelas.
Harapannya sederhana namun berat di eksekusi. “Kita tidak boleh membiarkan saudara kita terpuruk dalam penderitaan sementara kita hidup berkecukupan. Berbagi itu perintah agama dan nilai budaya kita,” tutur Menag.
BACA JUGA:Kasus Ijazah Jokowi Belum Tamat, Babak Baru Terkini Polisi Siapkan Panggung Gelar Perkara
Solidaritas masih dipertahankan sebagai argumen moral yang diulang berkali-kali, meskipun implementasi membutuhkan logistik, kurikulum, dan tenaga pendidik yang benar-benar siap bekerja dalam jangka panjang.
Acara yang menjadi panggung pernyataan ini dihadiri tokoh-tokoh diplomasi dan akademisi lintas negara, mulai dari Abdurrahman M. Fachir hingga delegasi International IDEA dan Indianapolis University.
Dalam forum itu, Menag menyampaikan gagasan bahwa kampus dan pesantren Indonesia bukan sekadar pusat pendidikan, tetapi calon rumah baru bagi anak-anak yang kehilangan masa sekolah karena perang. Tinggal menunggu satu hal paling penting, keputusan presiden dan eksekusi di lapangan, yang tak pernah sesederhana yang terdengar dari podium.