JAKARTA, PostingNews.id – Menteri Kebudayaan Fadli Zon buka suara di tengah kontroversi besar yang menyelimuti keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan presiden Soeharto. Di hadapan wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin, 10 November 2025, Fadli dengan tegas membela Soeharto dari berbagai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan dugaan korupsi yang selama ini menempel pada namanya.
“Seperti Anda bilang, kan namanya dugaan. Iya, dugaan itu kan tidak pernah terbukti juga,” kata Fadli. “(Tidak melakukan korupsi dan pelanggaran HAM?) Kan tidak ada juga. Tidak, tidak ada juga.”
Menurut Fadli, seluruh kasus yang selama ini dikaitkan dengan Soeharto telah melalui proses hukum yang sah. Ia menilai tidak ada satu pun yang membuktikan keterlibatan langsung Soeharto dalam kasus-kasus tersebut. “Misalnya apa yang dituduhkan? Semua ada proses hukumnya, dan proses hukum itu sudah tuntas dan itu tidak terkait dengan Presiden Soeharto,” ujarnya.
Menyoal tragedi besar seperti kerusuhan Mei 1998, Fadli menilai Soeharto tidak terlibat secara langsung. Ia menegaskan bahwa keputusan pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sudah melalui tahapan formal yang sah dan tidak memiliki hambatan hukum. “Sebagaimana itu dari bawah tadi, sudah melalui suatu proses. Tidak ada masalah hukum, tidak ada masalah hal-hal yang lain,” katanya.
BACA JUGA:Rekam Jejak Kelam Soeharto di Balik Gelar Pahlawannya
Pernyataan Fadli itu disampaikan hanya beberapa jam setelah Presiden Prabowo Subianto resmi menetapkan Soeharto sebagai salah satu dari sepuluh tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Upacara penganugerahan digelar di Istana Negara, Jakarta Pusat, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.
Keputusan itu dibacakan oleh Sekretaris Militer Presiden, Wahyu Yudhayana, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Nama Soeharto berada di antara tokoh lain seperti Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, dan ulama Rahmah El Yunusiyyah.
Namun, langkah pemerintah itu justru memantik gelombang kritik dari berbagai kalangan. Kepala Divisi Advokasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menyebut pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sebagai simbol matinya semangat reformasi. Menurut Egi, semangat reformasi sejak 1998 memiliki tiga agenda utama: mengadili Soeharto dan kroninya, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. “Namun agenda reformasi terbukti gagal. Soeharto seharusnya tidak pantas mendapatkan gelar Pahlawan Nasional,” ujar Egi dalam keterangan resmi, Senin, 10 November 2025.
Ia menambahkan bahwa Soeharto tidak pernah diadili atas dugaan korupsi maupun pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama masa pemerintahannya. “Penegakan hukum kejahatan korupsi yang Soeharto lakukan bersama kroni-kroninya tidak pernah dituntaskan,” kata Egi.
BACA JUGA:Tak Hanya Gelar Kehormatan, Ahli Waris Pahlawan Nasional Terima Rp 50 Juta Tiap Tahun
Sementara dari pihak keluarga, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto, menyatakan bahwa keluarga besar Soeharto tidak merasa perlu membela diri terhadap tuduhan-tuduhan tersebut. Ia mengatakan masyarakat kini sudah cukup cerdas untuk menilai sendiri warisan ayahnya. “Saya rasa rakyat juga makin pintar. Jadi, bisa melihat apa yang Soeharto lakukan, dan bisa menilai sendiri ya. Kami tidak perlu membela diri atau bagaimana,” ujar Tutut usai Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara.
Dalam pandangan pemerintah, gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Soeharto dan sembilan tokoh lainnya bukan sekadar bentuk penghargaan, tetapi juga simbol penghormatan terhadap jasa para pemimpin bangsa. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa keputusan ini diambil dengan penuh pertimbangan atas kontribusi mereka terhadap Indonesia. “Bagaimana kami menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” kata Prasetyo.
Meski demikian, perdebatan di ruang publik belum reda. Di satu sisi, pemerintah menyebut proses sudah sesuai hukum dan prosedur, sementara di sisi lain, masyarakat sipil terus menyoroti luka lama sejarah yang belum disembuhkan. Gelar pahlawan untuk Soeharto kini menjadi cermin betapa tafsir terhadap sejarah Indonesia masih terbagi antara penghormatan dan pengampunan.