JAKARTA, PostingNews.id – Parade militer mewah di Lapangan Tiananmen baru-baru ini sukses memamerkan kekuatan dan sejarah kebanggaan China dalam mengalahkan penjajahan Jepang delapan dekade silam. Namun, alih-alih ikut tepuk tangan, Donald Trump—Presiden Amerika Serikat—malah mengernyitkan dahi karena satu hal: namanya (dan negaranya) tak disebut.
Melalui unggahan di pelantar kesayangannya, Truth Social, Trump menyesalkan sikap Presiden China Xi Jinping yang “lupa” menyebut Amerika Serikat dalam pidato peringatan 80 tahun akhir Perang Dunia II di Asia. Padahal, menurut Trump, negeri Paman Sam punya jasa besar dalam membantu China memukul mundur Jepang.
“Itu upacara yang indah. Benar-benar mengesankan. Tapi… kok Amerika enggak disebut?” kata Trump dengan gaya khas rasa bersaudara tapi ngambek, kepada wartawan di Oval Office, beberapa jam setelah ia curhat di medsos.
Trump, yang juga tak lupa menyebut Xi sebagai “teman saya”, kemudian menyisipkan bumbu teori konspirasi ringan. Ia menyebut kehadiran Xi, Putin, dan Kim Jong Un dalam satu barisan parade itu “terlihat seperti geng anti-AS”. Sebuah pengamatan geopolitik khas Trump yang penuh dugaan, setengah serius, dan tentu saja America First.
BACA JUGA:592 Akun Diduga Jadi Kompor Rusuh, Polisi: Dari Instagram Sampe Grup WA Rasa Aktivis
Tak ada delegasi resmi dari AS yang hadir di parade tersebut. Hanya seorang warga AS yang terekam kamera ikut menonton. Mungkin itulah yang memicu rasa “terlupakan” Trump.
Sementara itu, narasi sejarah parade ini memang punya nuansa revisionis. Mantan Duta Besar AS untuk China, R. Nicholas Burns, menyebut bahwa acara ini bukan cuma ajang pamer senjata, tapi juga upaya menulis ulang sejarah—dengan mencetak ulang poster kemenangan dalam ukuran raksasa, di mana AS dicrop dari bingkai.
Menurut Burns, parade itu ingin menampilkan China dan Rusia sebagai dua aktor utama dalam kekalahan fasisme. Sekaligus, memperlihatkan kepada dunia bahwa aliansi keduanya kini makin erat, terutama di tengah peta kekuasaan Asia Tengah yang mulai miring ke timur.
Tentu saja, parade ini berlangsung di tengah hubungan bilateral AS–China yang masih penuh friksi, mulai dari sengketa Laut China Selatan hingga perang dagang. Meski demikian, Trump masih menyimpan sejumput harapan. Ia mengaku terbuka bertemu Xi lagi—tentu setelah pidato Xi yang berikutnya sudi menyebut nama Amerika dengan huruf kapital semua.
BACA JUGA:KPK Kembali Dalami Dugaan Korupsi Kuota Haji, Travel Ramai-ramai Disidang
Rusia: Kita Berteman, Bukan Bersekongkol
Sementara Trump melempar tudingan tentang “poros jahat” baru berisi China, Rusia, dan Korea Utara, Moskow langsung menanggapi dengan gaya diplomatik khas yang tenang, datar, dan sedikit nyinyir halus.
Kremlin lewat juru bicaranya, Dmitry Peskov, menegaskan tak ada rencana rahasia, apalagi konspirasi lintas benua yang bertujuan mengganggu tidur malam Gedung Putih.
“Kami berteman dengan China dan Korut dalam kerangka kerja sama regional, bukan kerja sama menjatuhkan siapa pun,” ucap Peskov kepada TASS. Ia bahkan berharap pernyataan Trump itu hanya “kiasan retoris”, bukan paranoia yang dihalalkan.
Masalahnya, Trump memang sedang dalam mode “serba curiga”—apalagi isu yang dibicarakan tak main-main, yakni Perang Rusia-Ukraina. Trump, yang kini kembali menempati Gedung Putih, ingin tampil sebagai juru damai global.