SP3 KPK Picu Tanda Tanya, Dugaan Korupsi Tambang Rp2,7 Triliun Tak Dilanjutkan

SP3 KPK Picu Tanda Tanya, Dugaan Korupsi Tambang Rp2,7 Triliun Tak Dilanjutkan

Penghentian penyidikan KPK atas dugaan korupsi tambang Rp2,7 triliun menuai kritik dan memunculkan tanda tanya soal penegakan hukum. SEO Short-Tail Keywords (5)-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id – Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyidikan perkara dugaan korupsi mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman langsung memantik suara keras dari dalam lingkaran lama lembaga antirasuah itu sendiri. Bukan kritik basa-basi, melainkan keberatan yang menyentuh jantung persoalan. Kasus ini dinilai terlalu besar dan terlalu penting untuk sekadar ditutup dengan surat penghentian penyidikan.

Nada keberatan itu datang dari , mantan Wakil Ketua periode 2015–2019. Ia menilai langkah menghentikan kasus yang menyeret sulit diterima akal sehat. Bagi Laode, perkara ini menyentuh sektor strategis sumber daya alam dan potensi kerugian negara yang angkanya bukan main-main.

“Kasus itu tidak layak untuk diterbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan, red.) karena kasus sumber daya alam yang sangat penting, dan kerugian negaranya besar,” kata Laode kepada wartawan, Minggu 28 Desember 2025.

Ia mengingat kembali bagaimana perkara ini ditangani di masa kepemimpinannya. Menurut Laode, penyidik kala itu tidak bekerja dengan tangan kosong. Bukti dugaan suap sudah dikantongi, sementara koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan juga sudah berjalan untuk memfinalisasi angka kerugian negara. Prosesnya belum rampung, tetapi jalurnya sudah terbuka.

BACA JUGA:Afrika Diam-Diam Terbelah, Daratan Timur Bersiap Pisah dan Bentuk Samudra Baru

“Makanya sangat aneh kalau KPK sekarang menghentikan penyidikan kasus ini,” ujarnya.

Bagi Laode, persoalan teknis seharusnya tidak menjadi alasan mematikan perkara. Ia menyebut jika hambatan ada pada perhitungan kerugian negara, KPK masih punya ruang untuk bergerak. Tidak semua dakwaan harus dipaksakan berjalan beriringan.

“Kalau BPK enggan melakukan perhitungan kerugian keuangan atau perekonomian negaranya, maka KPK bisa melanjutkan kasus suapnya saja,” kata Laode memberi jalan keluar.

Kritik itu terasa semakin tajam ketika menilik jejak panjang perkara tambang Konawe Utara. Kasus ini bukan cerita kemarin sore. Ia bergulir sejak 2017 dan sejak awal sudah menandai skala yang besar. KPK kala itu menduga tindakan Aswad menyebabkan kerugian negara sedikitnya Rp2,7 triliun. Angka yang tidak muncul dari hitungan kasar.

BACA JUGA:Air Bah Surut, Bahaya Belum Pergi, Ahli Ingatkan Bencana Susulan di Sumatera

Dugaan kerugian tersebut bersumber dari eksploitasi nikel melalui izin usaha pertambangan yang diduga diterbitkan secara melawan hukum pada periode 2007 hingga 2014. Izin-izin itu membuka jalan bagi aktivitas tambang di wilayah yang semestinya dijaga, sementara negara diduga kehilangan potensi penerimaan dalam jumlah masif.

Di titik ini, penghentian penyidikan bukan sekadar soal prosedur hukum. Ia menyentuh kepercayaan publik terhadap keseriusan negara menjaga sumber daya alamnya. Bagi Laode, perkara semacam ini seharusnya menjadi etalase komitmen penegakan hukum, bukan justru diturunkan tirainya saat proses belum benar-benar mencapai ujung.

Kritik dari mantan pimpinan KPK itu menambah daftar pertanyaan publik. Bukan hanya soal apa yang kurang dari penyidikan, tetapi juga soal keberanian lembaga antikorupsi menghadapi perkara besar di sektor strategis. Dalam bayang-bayang angka triliunan dan izin tambang yang dipersoalkan, keputusan SP3 ini meninggalkan tanda tanya yang sulit diabaikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share