Dulu Peta Karma, Kini Sekadar Permainan Bocah, Jejak Hilangnya Makna Ular Tangga dari India
Ular tangga dulunya peta karma dan jalan spiritual di India kuno. Kini berubah jadi permainan bocah tanpa makna filosofisnya.-Foto: Good News From Indonesia-
JAKARTA, PostingNews.id — Hari ini, menginjak kotak bergambar ular cuma dianggap sial sebentar. Paling banter mundur beberapa langkah, lalu tertawa kecil sebelum giliran berikutnya. Tak ada rasa takut, apalagi rasa bersalah. Padahal berabad-abad lalu, di tanah India, momen yang sama bisa dimaknai jauh lebih berat. Ia bukan sekadar kesialan, melainkan gambaran jatuhnya manusia dari jalur kebajikan menuju lumpur dosa.
Pada masa itu, permainan ini tak digelar sembarangan. Di atas kain lukis atau kertas yang dibentangkan dengan khidmat, manusia menaruh harapan sekaligus kecemasan. Setiap petak adalah simbol. Setiap langkah adalah pertaruhan nasib jiwa. Angka bukan sekadar hitungan, melainkan penanda karma yang mengikat manusia dalam siklus kelahiran kembali yang tak pernah benar-benar selesai.
Permainan ini dikenal sebagai Gyan Chaupar atau Permainan Pengetahuan. Ia lahir bukan untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai sarana kontemplasi. Lewat papan permainan, orang diajak bercermin. Tangga mengajak naik karena kebajikan. Ular menyeret turun karena kesalahan. Semua digambar terang, tanpa basa-basi.
Jejak sejarahnya panjang dan tak sepenuhnya lurus. Sumber Ancient Origins menyebut permainan ini mungkin sudah ada sejak abad ke-2 Masehi, meski tak ada nama pencipta yang pasti. Sebagian pakar menunjuk Santo Marathi abad ke-13, Dnyaneshwar atau Dnyandev, sebagai tokoh yang memopulerkannya.
BACA JUGA:Impor BBM 2026 Mulai Dihitung, Bahlil Kasih Sinyal Keras ke SPBU Swasta yang Bandel
Namun teks Rishabh Panchasika dari abad ke-10 memberi isyarat bahwa permainan ini telah hidup lebih dulu. Asia Research News mencatat, contoh fisik tertua yang masih bertahan berasal dari wilayah Mewar abad ke-17, sementara papan-papan yang kini tersimpan di museum kebanyakan dibuat pada abad ke-18.
Di abad pertengahan, papan Gyan Chaupar tidak seragam. Setiap wilayah dan keyakinan memberi tafsir sendiri. Versi Hindu umumnya terdiri dari 72 kotak. Beberapa angka menjadi perangkap yang harus dihindari. Angka 24 melambangkan pergaulan buruk. Angka 44 menggambarkan pengetahuan palsu. Angka 55 menjadi simbol ego. Tujuan akhirnya adalah mencapai kotak 68, tempat bersemayam Dewa Shiva, lambang puncak kesadaran.
Di Gujarat dan Rajasthan, versi Jain justru berkembang dengan 84 kotak. Permainan ini populer dimainkan saat festival Paryushan, ketika umat menjalani puasa dan pengabdian spiritual. Di Punjab, muncul versi Vaishnava yang jauh lebih rumit. Jumlah kotaknya bisa menembus 300 lebih. Bahkan tempat tinggal Dewa Vishnu atau Vaikuntha diletakkan beberapa langkah sebelum akhir, seolah mengingatkan bahwa merasa paling dekat dengan surga pun bisa menjadi jebakan kesombongan.
Inti permainan ini terletak pada ketimpangan yang disengaja. Jumlah ular dibuat jauh lebih banyak dibanding tangga. Asia Research News mencatat, sering kali jumlahnya bahkan dua kali lipat. Pesannya jelas. Jatuh ke dalam keburukan jauh lebih mudah daripada bertahan di jalan kebajikan. Tangga melambangkan kemurahan hati, pengetahuan, dan disiplin diri. Ular menjadi simbol kesombongan, pencurian, kekerasan, dan maya, ilusi dunia yang menipu.
BACA JUGA:Impor BBM 2026 Mulai Dihitung, Bahlil Kasih Sinyal Keras ke SPBU Swasta yang Bandel
Token digerakkan menggunakan cangkang kauri atau dadu. Pemain memulai dari bawah, perlahan naik, berharap bisa mencapai moksha, pembebasan spiritual. Setiap giliran bukan cuma soal keberuntungan, tapi juga pengingat bahwa hidup adalah rangkaian sebab dan akibat.
Namun makna itu mulai terkikis ketika papan-papan kain ini menyeberangi samudera. Pada akhir abad ke-19, perwira Inggris membawa Gyan Chaupar ke Eropa. Di Inggris, sekitar 1890-an, permainan ini diproduksi ulang dan dijual massal dengan nama Snakes and Ladders. Di tangan kolonial, pesan filosofisnya dipangkas. Label dosa dan kebajikan dihapus. Ilustrasi disederhanakan ala Victoria. Jumlah ular dan tangga dibuat seimbang, seolah hidup hanyalah soal untung dan buntung.
Puncak pengaburan terjadi pada 1943 ketika Milton Bradley memperkenalkan versi Amerika dengan nama Chutes and Ladders. Ular diganti menjadi perosotan karena dianggap bisa menakuti anak-anak. Bersamaan dengan itu, seluruh beban moral yang dulu menyertai permainan ini lenyap. Yang tersisa hanyalah papan angka, dadu, dan tawa singkat.
Kini, Gyan Chaupar yang dulu sarat makna hanya bisa ditemui sebagai artefak sunyi di tempat-tempat seperti British Library atau National Museum di New Delhi. Kain-kain lukis itu diam, menyimpan cerita tentang masa ketika sebuah permainan bukan cuma soal menang atau kalah, melainkan soal bagaimana manusia menilai dirinya sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News