Gugatan Perdata Gibran Diujung Tanduk, Hakim PN Jakpus Bersiap Putuskan Nasibnya Pekan Depan
Gugatan perdata terhadap Gibran memasuki fase krusial. Hakim PN Jakpus bersiap menjatuhkan putusan sela soal kewenangan mengadili perkara pemilu.-Foto: Antara-
JAKARTA, PostingNews.id — Nasib gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kini tinggal menunggu waktu. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dijadwalkan menjatuhkan putusan sela pekan depan, yang bakal menentukan apakah perkara ini bisa dilanjutkan atau justru berhenti di tengah jalan.
Sinyal arah putusan mulai terlihat dalam persidangan yang digelar Senin 15 Desember 2025. Dalam sidang itu, tergugat menghadirkan mantan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Ida Budhiati. Di hadapan majelis hakim, Ida menyampaikan satu garis besar yang tegas. Menurut dia, pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan mengadili perkara yang menyangkut pemilu.
Ida menegaskan, jika objek sengketa berkaitan dengan penyelenggara pemilu atau tahapan pemilu, maka ranahnya berada di pengadilan tata usaha negara. Bukan di pengadilan negeri.
“Dalam lingkup ranah hukum publik yang berupa tindakan untuk membuat peraturan keputusan, maka mekanisme pertanggungjawabannya itu sesuai dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan juga Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, itu menjadi otoritas atau kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),” ujar Ida dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin 15 Desember 2025.
BACA JUGA:Perubahan Iklim Bikin Karang Angkat Bendera Putih, Dampaknya Menghantam Laut dan Manusia
Menurut Ida, segala hal yang menyangkut aturan, kebijakan, dan administrasi negara merupakan objek sengketa PTUN. Pengadilan negeri, kata dia, baru berwenang masuk jika persoalan yang digugat menyentuh ranah privat dan melibatkan pihak ketiga.
Ia memberi contoh sederhana. Dalam penyelenggaraan pemilu, KPU kerap menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk urusan logistik. Jika dalam kerja sama tersebut terjadi wanprestasi dan pihak ketiga menggugat, barulah pengadilan negeri berwenang memeriksa perkara. Di luar itu, sengketa kepemiluan tetap berada di jalur hukum publik.
Ida juga menyoroti soal batas waktu dalam sengketa pemilu. Ia menyebut hukum pemilu bekerja dengan tenggat yang ketat dan terbatas. Keberatan hanya bisa diajukan saat pemilu masih berlangsung. Jika dugaan pelanggaran baru diketahui setelah seluruh tahapan pemilu selesai, maka menurut kerangka hukum yang ada, kesempatan menggugat dianggap tertutup.
“Berkaitan dengan sengketa, bahwa warga negara kemudian mengetahui (ada dugaan pelanggaran) setelah pemilu berakhir misalnya, maka menurut kerangka hukum pemilu, maka kehilangan kesempatan untuk mengajukan komplain mengajukan sengketa,” kata Ida.
BACA JUGA:Tak Mau Sekadar Diperiksa, Roy Suryo Cs Tantang Polisi Buka Proses dan Substansi Ijazah
Ia menjelaskan, selama pemilu berjalan, masyarakat diberi ruang untuk menyampaikan keberatan dan meminta pertanggungjawaban penyelenggara. Ruang itu dijamin Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu.
“Warga negara itu dibuka kesempatan untuk mengajukan keberatan-keberatan atau meminta akuntabilitas dari pelaksanaan tugas pejabat administrasi negara di bidang kepemiluan,” lanjutnya.
Namun, Ida mengingatkan, keberatan tersebut harus diajukan pada tahap yang tepat. Untuk sengketa pencalonan presiden dan wakil presiden, misalnya, gugatan seharusnya diajukan sebelum pasangan calon ditetapkan secara resmi.
Dalam sidang yang sama, Ida juga diminta menanggapi soal adanya putusan PTUN yang lebih dulu diketuk sebelum gugatan perdata ini masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurutnya, jika sudah ada vonis dari peradilan lain, putusan itu harus diterima, apa pun hasilnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News