Psikologi Utang, Kenapa Orang Lebih Mudah Minjam daripada Membayar?
Tinjauan psikologi utang mengungkap alasan emosional dan sosial mengapa orang mudah berutang tapi enggan melunasi kewajibannya.-Gambar dibuat oleh AI untuk PostingNews.id-
JAKARTA, PostingNews.id — Kasus pengeroyokan yang menimpa dua orang debt collector atau yang kerap disebut mata elang di kawasan Kalibata pada Kamis 11 Desember 2025 mendadak menyedot perhatian publik. Peristiwa yang berawal dari konflik penarikan kendaraan itu bukan sekadar perkara adu fisik di jalanan, melainkan potret ketegangan yang kerap tersembunyi di balik urusan utang piutang.
Di balik kejadian tersebut, tersimpan cerita panjang tentang tekanan emosional yang sering kali mengiringi masalah finansial. Urusan utang tidak berhenti pada angka dan tenggat pembayaran. Ia kerap merembes ke ranah psikologis dan sosial, menciptakan kecemasan yang perlahan menggerogoti ketenangan hidup. Dari sulit tidur, perubahan suasana hati, hingga runtuhnya rasa percaya diri, semuanya bisa berawal dari beban finansial yang tak kunjung terurai.
Utang memiliki daya rusak yang senyap namun kuat. Seseorang yang terjebak di dalamnya kerap hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Perasaan tidak aman, tidak cukup, dan tak berdaya tumbuh bersamaan dengan tumpukan kewajiban yang terasa mustahil dilunasi. Dalam kondisi seperti itu, masalah finansial tak lagi berdiri sendiri. Ia menjelma menjadi persoalan kesehatan mental dan fisik sekaligus.
Kesehatan mental, kesehatan fisik, dan kondisi finansial saling terjalin erat. Kekhawatiran soal uang bukan cuma urusan dompet, melainkan juga urusan tubuh dan pikiran. Karena itu, menyelesaikan utang sejatinya bukan hanya soal mencari uang untuk membayar, tetapi juga upaya membuka simpul emosi dan trauma finansial yang sering melekat tanpa disadari.
BACA JUGA:Banjir Besar Sumatera Buka Borok Lama, Prabowo Perintahkan Penertiban Pembalakan Liar
Trauma Finansial yang Tumbuh Diam-Diam
Trauma finansial bisa muncul dari peristiwa besar, seperti kehilangan pekerjaan atau tagihan medis yang membengkak. Namun, ia juga bisa tumbuh dari kejadian kecil yang berulang, misalnya menyaksikan pertengkaran orang tua soal uang sejak kecil. Ketika kartu kredit ditolak di kasir, rasa malu, bingung, marah, atau bersalah kerap muncul seolah mencerminkan kegagalan diri, bukan sekadar persoalan teknis perbankan.
Pertanyaan yang kerap muncul kemudian adalah mengapa seseorang bisa begitu mudah terjerat utang, tetapi pada saat yang sama sangat enggan mengambil langkah serius untuk melunasinya. Jawabannya tak pernah sederhana.
Dalam urusan finansial, tidak semua orang memulai dari titik yang sama. Ketimpangan sumber daya, peluang, dan pendidikan membentuk fondasi yang berbeda bagi setiap individu. Mereka yang memiliki privilese ekonomi umumnya mendapat akses pendidikan lebih baik, pilihan gaya hidup lebih sehat, serta layanan kesehatan yang lebih berkualitas. Sementara itu, kelompok lain harus berjuang di tengah keterbatasan perumahan, lingkungan, dan akses layanan dasar.
Realitas ketimpangan ini menjadi latar penting ketika membahas hubungan antara utang dan kesehatan mental. Upaya meningkatkan penghasilan biasanya dimulai saat seseorang memasuki usia dewasa. Pendidikan, pengembangan keterampilan, dan pengelolaan biaya hidup berjalan beriringan, sering kali tanpa ruang bernapas.
BACA JUGA:Bencana Sumatera Lebih Luas dari Tsunami Aceh, AHY Bilang Jangan Remehkan
Meski banyak orang paham bahwa mengatur anggaran dan menabung adalah kebiasaan penting, faktor psikologis kerap mengambil alih kendali. Keinginan akan kepuasan instan membuat seseorang meyakinkan diri bahwa mereka pantas menikmati gaya hidup tertentu. Dari situlah pengeluaran emosional bermula. Belanja impulsif menjadi pelarian saat bosan atau stres, meskipun kondisi finansial tidak memungkinkan. Kelegaan sesaat itu kemudian berubah menjadi beban utang jangka panjang.
Dalam jangka waktu tertentu, utang bisa membuat seseorang kewalahan. Kecemasan, stres, frustrasi, bahkan depresi menjadi konsekuensi yang sering menyertai. Tekanan finansial berkepanjangan juga kerap menjelma menjadi keluhan fisik, mulai dari sakit kepala, gangguan tidur, hingga masalah pencernaan.
Faktor di luar diri individu turut memperumit situasi. Kondisi ekonomi makro, seperti suku bunga, inflasi, tingkat pekerjaan, dan kebijakan pemerintah, sangat memengaruhi perilaku finansial masyarakat. Di tengah ketidakpastian ekonomi, biaya hidup dasar melonjak. Perumahan, makanan, dan transportasi berada di titik mahal, membuat banyak orang kesulitan mengendalikan pengeluaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News