Pemilu 2029 di Era Deepfake, Demokrasi Kita Bisa Terseret Ilusi
Menjelang Pemilu 2029, ancaman deepfake dan AI menguji kepercayaan publik. Literasi, regulasi, dan forensik digital jadi kunci menjaga demokrasi.-Gambar dibuat oleh AI untuk PostingNews.id-
“Deepfake dan AI bukan sekadar merusak reputasi kandidat, tetapi menggerus kepercayaan publik sehingga kebenaran semua informasi politik diragukan. Politik bisa dianggap hanya soal merebut dan mempertahankan kekuasaan, dan ancamannya bisa menimbulkan konflik di tingkat akar rumput,” ujar Efriza.
Untuk menghadapi gelombang ancaman itu, Septiaji mengusulkan langkah-langkah tegas dalam revisi undang-undang pemilu. Ia menekankan pentingnya rambu-rambu penggunaan AI.
“Melarang penggunaan AI generatif untuk kampanye 90 hari sebelum pemilu, baik untuk promosi maupun menyerang lawan politik, dengan sanksi bagi parpol maupun kandidat,” katanya.
Ia juga mendorong pembentukan Satgas Forensik Digital yang bekerja secara real-time, terhubung dengan Komdigi, BSSN, media, akademisi, dan platform digital untuk memeriksa deepfake sebelum kebohongan telanjur membesar.
Efriza menambahkan bahwa Komdigi perlu memperjelas standar verifikasi konten digital, mewajibkan watermark untuk konten politik resmi, dan memberi sanksi tegas untuk produksi serta penyebaran deepfake. Sistem deteksi otomatis harus bekerja sebelum konten viral, dan kolaborasi dengan jurnalis penting agar publik memahami bagaimana informasi dipelintir.
Namun benteng paling kuat bukan hanya regulasi, tetapi pemilih muda itu sendiri. Literasi digital harus lebih aplikatif, visual, dan interaktif, sesuai kebiasaan Gen Z yang hidup dari video pendek dan penjelasan singkat. KPU bisa memakai TikTok, Instagram, atau YouTube untuk menunjukkan bagaimana AI memalsukan suara, wajah, atau video. Mereka cenderung lebih percaya edukasi dari kreator atau influencer yang dianggap kredibel.
Septiaji juga menekankan peran influencer ini, dengan catatan mereka harus dilatih menyaring hoaks dan deepfake, bukan sekadar menyebarkan konten.
Upaya probunking atau inokulasi menjadi pelengkap. Program edukasi berbentuk gim atau simulasi bisa melatih Gen Z untuk membedakan informasi palsu dan meresponsnya dengan kritis.
Pada akhirnya, Pemilu 2029 bukan hanya ajang elektoral, melainkan ujian besar bagi ketahanan demokrasi digital Indonesia. Jika regulasi, satgas forensik digital, literasi pemilih, serta partisipasi media dan influencer bergerak seiring, masih ada peluang menjaga kepercayaan publik tetap kokoh di tengah arus teknologi yang makin menipu mata.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News