Memahami Motivasi Pasukan Suka Repot di Banjir Sumatera yang Tak Pernah Lelah

Memahami Motivasi Pasukan Suka Repot di Banjir Sumatera yang Tak Pernah Lelah

Mengulas motivasi dan ketahanan relawan di Banjir Sumatera serta dinamika psikologis yang membuat mereka terus bergerak tanpa lelah.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Ketika banjir menggulung sejumlah wilayah di Sumatra pada akhir November 2025, air bah bukan hanya menenggelamkan rumah warga. Dalam hitungan jam, gelombang lumpur itu sekaligus menyeret keluar satu hal yang selalu muncul tiap musim bencana, yaitu daya juang orang-orang biasa yang tiba-tiba menjelma jadi pahlawan darurat.

Di tengah kepanikan dan jalanan yang berubah menjadi selokan raksasa, para relawan bergerak lebih cepat daripada status peringatan di ponsel. Mereka yang biasanya pegawai kantoran, guru honorer, sampai abang ojek pangkalan, mendadak menguasai teknik evakuasi, mendirikan dapur umum, dan membagi logistik seperti sudah puluhan tahun bekerja di bidang kebencanaan.

Fenomena warga bantu warga ini kembali membuktikan bahwa pada menit-menit pertama bencana, masyarakat adalah penolong paling nyata, bahkan sebelum rombongan mobil berstiker resmi datang menyusuri lokasi.

Namun di balik semangat tanpa pamrih yang menghangatkan suasana di antara genangan, ada lapisan psikologis yang jarang disorot. Siapa sebenarnya para relawan ini. Apa yang membuat mereka kembali ke lapangan, meski sudah kelelahan, bau lumpur, dan kadang harus menghadapi trauma yang lebih berat dari tumpukan karung bantuan. Di titik itulah ilmu kebencanaan menawarkan kaca pembesar.

BACA JUGA:Delapan Perusahaan di Balik Rusaknya Hulu Sungai Sumut Mulai Terlihat Wujudnya

Motivasi dan Ketahanan Para Penolong

Dr. Samantha Montano, seorang disasterologist—begitu ia menyebut siapa pun yang mempelajari bencana—menghabiskan kariernya mengulik bagaimana manusia menghadapi bahaya dalam empat fase utama, yakni kesiapsiagaan, mitigasi, respons, dan pemulihan. Ia tertarik pada seluk-beluk relawan setelah pindah ke New Orleans pasca-Badai Katrina dan kegagalan tanggul tahun 2005. Dari situ, ia menyaksikan betapa kelompok nirlaba dan relawan akar rumput jadi sumbu penyelamat bagi warga terdampak, meski mereka sendiri kerap berkutat dengan minimnya dana, alat, dan koordinasi.

Pengalaman itu makin tebal saat terjadi Bencana Tumpahan Minyak BP. Montano melihat pola yang sama, bahwa relawan menjadi penggerak awal ketika institusi formal belum sepenuhnya siap merespons.

“Saya merasa pekerjaan yang kami lakukan bisa lebih efektif dan efisien, meskipun saya tidak yakin bagaimana cara mewujudkannya,” ujarnya, dikutip dari National Geographic, Selasa, 9 Desember 2025. Petuah profesornya kemudian mengarahkan Montano untuk mendalami manajemen kedaruratan hingga meraih gelar Ph.D. dari North Dakota State University.

Banjir bandang Sumatra sendiri dipicu hujan ekstrem yang diperas oleh tiga siklon tropis sekaligus. Udara basah seperti diperes raksasa langit, membuat sejumlah kabupaten tak sempat bernapas sebelum air bah menghantam.

BACA JUGA:Pemerintah Permudah Penggantian Ijazah Murid yang Terdampak Banjir di Sumatera

Dalam amatan Montano, mitos bahwa warga terdampak bencana akan panik dan cuma menunggu bantuan adalah anggapan yang perlu disingkirkan. Penelitian malah menunjukkan penyintaslah yang menjadi penanggap pertama, saling mengangkat, mengikat, dan mengorganisir satu sama lain sebelum bantuan resmi tiba.

Baru setelah itu bantuan dari luar berdatangan, termasuk rombongan relawan spontan yang datang karena tersentuh berita, ajakan teman, atau sekadar karena kebetulan berada di lokasi. Tidak sedikit pula yang datang karena pernah mengalami bencana sebelumnya. Ada yang ikut karena nilai agama, panggilan moral, atau sekalian ingin merasakan pengalaman personal yang dianggap bermakna.

“Ini adalah kombinasi dari berbagai motivasi yang berbeda ini,” jelas Montano. Ia menambahkan, motivasi itu bisa berubah mengikuti siklus bencana, mulai dari respons kilat, pemulihan yang makan waktu berbulan hingga bertahun, sampai fase pencegahan yang sunyi sebelum bencana berikutnya datang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share