Purbaya Sudah Ingatkan: Utang Whoosh Harusnya Dibayar Danantara, Bukan APBN
Purbaya menegaskan pembayaran utang Whoosh seharusnya ditanggung Danantara, bukan APBN. Ia menyebut dividen BUMN cukup untuk menutup cicilan.-Foto: IG @purbayayudhi_official-
JAKARTA, PostingNews.id — Dinamika soal siapa yang harus menanggung utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh sebenarnya bukan isu baru. Namun, keputusan politik terbaru pemerintah untuk mengambil alih beban pembayaran kembali membangkitkan perdebatan lama yang dulu pernah disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Pada Oktober lalu, Purbaya dengan tegas menolak agar utang kereta cepat dibayar menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara.
Purbaya memandang tanggung jawab pembayaran utang Whoosh tidak lagi berada di tangan negara, tetapi di lembaga yang kini memegang seluruh dividen badan usaha milik negara, yakni BPI Danantara Indonesia. Menurut Purbaya, skema keuangan negara sudah berubah. Negara tidak lagi menerima dividen dari BUMN karena seluruhnya dialihkan ke Danantara. Dengan demikian, menurut dia, logika fiskalnya sangat jelas bahwa Danantara-lah yang seharusnya menanggung cicilan utang kereta cepat.
“Dulu kan semuanya pemerintah yang (menanggung). Tapi ketika sudah dipisahkan dan seluruh dividen masuk ke Danantara, Danantara cukup mampu untuk membayar itu,” ujar Purbaya ketika ditemui awak media di Kantor Pusat Ditjen Pajak Jakarta pada media Oktober 2025.
Pada titik itu, ia menganggap sangat wajar bila Danantara ikut menanggung biaya proyek kereta cepat, terutama karena pemegang saham utama operator KCIC adalah PT Kereta Api Indonesia. KAI adalah BUMN, sementara seluruh laba dan dividen BUMN sudah berpindah ke Danantara. Jadi, dari sudut pandang Purbaya, beban tersebut tidak patut lagi dibebankan ke APBN.
BACA JUGA:MKD Putuskan Sahroni Nonaktif dari DPR, Hak Keuangan Diputus Sampai 6 Bulan
Kebijakan pengalihan dividen BUMN ke Danantara membuat pemerintah kehilangan potensi penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp 80 triliun. Dampaknya, realisasi PNBP 2025 diperkirakan hanya mencapai 92,9 persen dari target APBN. Purbaya berkali-kali mengingatkan bahwa struktur penerimaan negara berubah, sehingga struktur kewajiban pembayarannya pun ikut berubah.
Ia mengaku sudah menyampaikan pandangan ini kepada pimpinan Danantara. Menurutnya, dividen yang diterima lembaga tersebut cukup untuk menutupi pembayaran tahunan cicilan utang kereta cepat. “Sudah saya sampaikan. Kenapa? Karena Danantara terima dividen dari BUMN hampir Rp 90 triliun. Itu cukup untuk menutup pembayaran tahunan sekitar Rp 2 triliun untuk utang kereta cepat. Dan saya yakin uangnya setiap tahun akan lebih banyak di situ,” kata Purbaya.
Danantara disebut telah menyatakan akan mengkaji usulan tersebut dan menyusun skema baru. Purbaya menilai posisi perjanjian dengan China Development Bank tidak mengharuskan pemerintah pusat yang membayar.
“Saya tanya ke beliau tadi apakah di klausulnya ada yang bayar harus pemerintah? Kan yang penting, kalau saya tahu CDB, mereka hanya minta struktur pembayarannya jelas. Jadi harusnya nggak ada masalah kalau Danantara yang bayar juga. Tapi nanti kita lihat hasilnya seperti apa dan kita tunggu perintah dari Presiden,” ujarnya.
BACA JUGA:17 Juta Suara Terbuang di Pemilu 2024, Partai Buruh Dorong Threshold 0 Persen
Kini, ketika pemerintah akhirnya memilih langkah berbeda, argumen lama Purbaya kembali relevan. Pertanyaannya kembali mengemuka: jika dividen BUMN sudah dialihkan ke Danantara, maka apakah negara memang masih pantas menanggung cicilan utang yang lahir dari proyek yang sejak awal disebut sebagai investasi berbasis bisnis?
Kontroversi ini jelas belum selesai. Yang berubah hanyalah siapa yang memegang mikrofon hari ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News