Soeharto Mau Jadi Pahlawan, Public Virtue: Tanda Orde Baru Balik Lagi
Public Virtue menilai rencana gelar pahlawan untuk Soeharto menandakan kembalinya gaya otoritarian Orde Baru dan upaya memutihkan sejarah kelam.-Foto: IG @cendana.archives-
JAKARTA, PostingNews.id – Lembaga kajian demokrasi Publik Virtue Research Institute atau PVRI menilai rencana pemerintah untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai langkah mundur yang berbahaya bagi demokrasi. Alih-alih meneladani semangat reformasi, langkah ini disebut justru melengkapi gejala kembalinya gaya otoritarian Orde Baru.
Direktur Eksekutif PVRI Muhammad Naziful Haq menyebut Soeharto tidak pantas dinobatkan sebagai pahlawan nasional di tengah situasi politik yang menunjukkan tanda-tanda kemunduran demokrasi.
“oeharto adalah bagian otoritarianisme masa lalu yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan,” ujar Naziful dalam keterangannya pada Ahad, 26 Oktober 2025.
Ia menilai pemberian gelar ini tak bisa dilepaskan dari meningkatnya militerisme dan upaya pembungkaman terhadap suara kritis, yang menandai babak baru kembalinya otoritarianisme dengan wajah yang lebih halus.
BACA JUGA:Pemerintah Pastikan Tarif BPJS Kesehatan Tak Naik Hingga Pertengahan 2026
Menurut PVRI, jika Soeharto dijadikan pahlawan, hal itu bukan hanya mengkooptasi struktur pemerintahan, tetapi juga menjadi langkah sistematis untuk memutihkan sejarah dan memberi legitimasi pada masa kelam kekuasaan. “Ini bukan preseden yang positif untuk iklim demokrasi di Indonesia,” tegasnya.
Seperti diketahui, Kementerian Sosial pada Kamis, 23 Oktober lalu telah mengusulkan nama Soeharto bersama 39 tokoh lain untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan seluruh nama yang diusulkan kepada Ketua Dewan Gelar sekaligus Menteri Kebudayaan Fadli Zon telah memenuhi syarat administratif. Namun keputusan akhir, kata dia, sepenuhnya berada di tangan Fadli Zon dan tim Dewan Gelar.
Prosedur penetapan gelar pahlawan nasional sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 yang menyebut setiap individu, lembaga, atau kelompok masyarakat dapat mengusulkan nama tokoh yang dianggap berjasa bagi negara.
BACA JUGA:Gelar Pahlawan Nasional Suharto Melegitimasi Kekuasaan Tanpa Batas
Dalam hal ini, nama Soeharto diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Bambang Sadono Center, lembaga yang didirikan oleh politikus Partai Golkar Bambang Sadono, partai yang selama lebih dari tiga dekade menjadi pilar kekuasaan Soeharto.
Namun banyak pihak menilai langkah ini keliru. Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya menegaskan Soeharto tidak layak disebut pahlawan karena jejak pelanggaran HAM berat di masa pemerintahannya belum pernah dipertanggungjawabkan.
“Pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto makin mempertebal impunitas,” kata Dimas.
Menurut Dimas, langkah ini bukan hanya melukai korban pelanggaran HAM, tetapi juga mengaburkan makna kepahlawanan itu sendiri. Ia menilai keputusan seperti ini justru menegaskan bahwa negara masih gagal berdamai dengan masa lalunya dan memilih melindungi para pelaku kekuasaan ketimbang menegakkan keadilan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News