JAKARTA, PostingNews.id — Di bawah teriknya matahari Kenya selatan, Solomon Morris Makau menelusuri hutan kering Koridor Kasigau dengan langkah hati-hati. Ia menunduk memeriksa batang pohon tumbang, memastikan tidak ada puff adder—ular berbisa yang sering bersembunyi di balik dedaunan kering—sebelum mengukur lingkar pohon dengan meteran. Di kejauhan, dua penjaga hutan berpatroli, menjaga agar gajah dan singa tidak melintasi terlalu jauh ke area proyek.
Koridor Kasigau, yang terletak di antara Taman Nasional Tsavo Timur dan Barat, menjadi tempat Makau dan timnya bekerja menghitung perubahan stok karbon dengan meneliti pepohonan dan semak belukar di area 50 meter persegi.
"Yang ini tergeletak mati,” kata Makau sambil menunjuk batang yang tumbang akibat dorongan gajah. Di sekitarnya, hamparan akasia masih berdiri kokoh di tengah kemarau yang panjang—pemandangan yang dulu menjadi simbol kebangkitan pasar karbon bernilai miliaran dolar.
Dua tahun lalu, pohon-pohon inilah yang menopang klaim hijau dari perusahaan global seperti Netflix dan Shell. Mereka membeli jutaan kredit karbon dari Kasigau—proyek pertama yang disertifikasi oleh Verra—untuk menyeimbangkan emisi karbon mereka. Pasar karbon sukarela sempat bernilai lebih dari USD2 miliar, digerakkan oleh keyakinan bahwa setiap kredit yang mewakili satu ton CO₂ bisa menebus dosa industri.
BACA JUGA:PVRI Sebut Gelar Pahlawan Soeharto Skandal Terbesar Era Reformasi
Harga kredit sempat melonjak dari beberapa dolar menjadi lebih dari USD30 selama pandemi, membuat bank-bank besar berlomba membentuk unit perdagangan karbon.
Namun kini, euforia itu runtuh. Nilai pasar merosot, dana menguap, dan proyek-proyek konservasi seperti Kasigau terancam kehilangan napas.
Keruntuhan pasar bermula dari cacat mendasar dalam metode perhitungan. Investigasi yang dilakukan oleh The Guardian bersama tim riset independen menemukan bahwa lebih dari 90 persen kredit perlindungan hutan yang dikeluarkan Verra tidak benar-benar mencerminkan pengurangan emisi. Temuan itu diperkuat oleh penelitian dalam jurnal Science dan PNAS yang menunjukkan banyak proyek melebih-lebihkan dampaknya.
Meski Verra membantah tuduhan tersebut dan menyebut riset itu sudah “didiskreditkan”, kepercayaan pasar terus anjlok. Terpilihnya kembali Donald Trump yang dikenal skeptis terhadap agenda iklim makin memperburuk situasi. Bank dan korporasi global mulai mundur dari komitmen hijau mereka, meninggalkan proyek-proyek yang sebelumnya dijadikan simbol harapan.
BACA JUGA:Inflow Asing Banjiri Pasar Saham, BREN dan BRMS Diserbu Investor Global
Akibatnya, ratusan juta dolar investasi hilang. Proyek seperti Kasigau yang dulu menerima USD70 juta untuk membiayai sekolah, fasilitas kesehatan, dan penampungan air bagi 120.000 penduduk lokal kini kehilangan sumber pendanaannya. “Rumor di masyarakat adalah bahwa proyek ini sedang sekarat karena tidak ada uang yang masuk,” kata Agnes Kipee, warga yang tinggal di tepi kawasan proyek. “Sebelumnya kami mendapat banyak tunjangan dari proyek karbon. Sekarang tidak ada yang datang. Kami bertanya-tanya apa yang terjadi,” ujarnya.
Meski demikian, jejak keberhasilan proyek Kasigau masih terlihat jelas. Di dalam area perlindungan, pepohonan rimbun dan satwa liar hidup berdampingan; di luar area, hutan berubah menjadi lahan tandus akibat pembakaran arang dan pertanian subsisten. Newton Nyiro, petani sekaligus mantan anggota tim pengukur biomassa, mengingat bagaimana proyek karbon dulu menjadi penopang ekonomi masyarakat. “Sekarang tidak ada pendapatan. Kami benar-benar menderita. Kami bergantung pada hutan. Tanpa proyek ini, Kasigau akan tamat… Kredit karbon itu membantu,” katanya.
Profesor Julia Jones dari Bangor University, yang menulis riset tentang kelemahan sistem Verra, menilai perbaikan masih bisa dilakukan. “Tidak dapat disangkal bahwa uang telah terbuang untuk proyek-proyek yang tidak memperlambat deforestasi. Tetapi itu tidak berarti kita harus membuang bayi bersama air mandinya. Ada proyek-proyek yang benar-benar bagus di luar sana,” ujarnya.
Selama 18 bulan terakhir, Verra melakukan reformasi besar-besaran. Metode perhitungan baru kini diklaim lebih akurat dan sulit dimanipulasi, menurut Axel Michaelowa dari University of Zurich. Namun, kepercayaan pasar yang sudah terlanjur runtuh belum pulih. Banyak perusahaan karbon memberhentikan karyawannya, dan beberapa maskapai seperti Ryanair menghapus penggunaan offset karbon. CEO-nya, Michael O’Leary, bahkan menyatakan “Agenda hijau sudah mati.”
BACA JUGA:Fadli Zon: Soeharto Tidak Pernah Terbukti Korupsi atau Langgar HAM