JAKARTA, PostingNews.id – Putri sulung Presiden ke-2 Republik Indonesia, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto, akhirnya buka suara setelah ayahnya resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam suasana yang penuh simbol di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10 November 2025, Tutut menanggapi berbagai tudingan yang selama ini dialamatkan kepada Soeharto dengan nada tenang dan tanpa amarah.
Ia menilai, publik kini cukup cerdas untuk menilai sendiri warisan Soeharto. "Saya rasa rakyat juga makin pintar. Jadi, bisa melihat apa yang Soeharto lakukan, dan bisa menilai sendiri ya. Kami tidak perlu membela diri atau bagaimana," kata Tutut setelah mengikuti Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara.
Tutut memahami bahwa keputusan pemerintah memberikan gelar kepada Soeharto menimbulkan pro dan kontra. Namun, ia menegaskan keluarganya tak ingin menaruh dendam terhadap pihak yang menolak. "Untuk yang kontra, yang tidak mendukung, saya, kami keluarga tidak merasa dendam atau kecewa atau bagaimana. Sebab negara ini kan kesatuan Bhinneka Tunggal Ika. Monggo-monggo saja," ujarnya, tetap dengan senyum dan nada damai.
Dalam pandangannya, Soeharto sudah mengabdikan diri untuk negara sejak masih muda hingga akhir hayatnya. "Jadi, boleh-boleh saja kontra tapi juga jangan ekstrem gitu. Yang penting jaga persatuan dan kesatuan," tutur Tutut. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada Presiden Prabowo dan seluruh masyarakat yang mendukung penganugerahan tersebut. "Terima kasih kepada Presiden dan kepada masyarakat Indonesia, dan kepada seluruh yang telah mendukung," katanya. Menurut Tutut, Prabowo memahami rekam jejak Soeharto dari kacamata seorang tentara.
Upacara penganugerahan ini berlangsung bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional. Dalam prosesi tersebut, Presiden Prabowo secara simbolis menyerahkan piagam gelar Pahlawan Nasional kepada Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Soeharto, yang hadir bersama Tutut di Istana Negara.
Penetapan gelar itu diatur melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Selain Soeharto, sembilan tokoh lain turut menerima penghargaan serupa, di antaranya Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, aktivis buruh Marsinah, ulama Rahmah El Yunusiyyah, Menteri Hukum era Orde Baru Mochtar Kusumaatmadja, dan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menjelaskan, pemberian gelar ini merupakan bentuk penghormatan kepada para pemimpin yang telah berjuang bagi bangsa. "Bagaimana kami menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara," ujar Prasetyo.
Namun, di luar istana, suara penolakan tetap bergema. Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai keputusan ini sebagai langkah yang mencederai makna kepahlawanan. Aksi protes digelar oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto atau Gemas di depan Kementerian Kebudayaan, Kamis, 6 November 2025. Mereka menilai Soeharto bertanggung jawab atas pelanggaran HAM serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme selama Orde Baru.
Perwakilan Gemas, Axel Primayoga, menilai rekam jejak Soeharto tidak sesuai dengan nilai-nilai yang melekat pada gelar pahlawan. "Soeharto berperan dalam pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi, kolusi, serta nepotisme," katanya.
Nada keberatan juga datang dari kalangan akademisi. Filsuf Franz Magnis-Suseno atau Romo Magnis menilai bahwa Soeharto tidak layak disebut pahlawan. "Soeharto melakukan korupsi besar-besaran. Dia memperkaya keluarga, orang lain, orang dekatnya, memperkaya diri sendiri. Itu bukan Pahlawan nasional," ujarnya dalam diskusi di Gedung YLBHI, Jakarta, Selasa, 4 November 2025.
Romo Magnis menambahkan, Soeharto juga bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan 1965–1966 yang memakan korban hingga jutaan jiwa. Ia menilai, seorang pahlawan nasional idealnya bersih dari pelanggaran etika, apalagi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dengan segala perbedaan pandangan itu, upacara di Istana Negara menjadi momen yang mengukuhkan sekaligus mempertebal garis perdebatan sejarah Indonesia. Di satu sisi, penghargaan negara kepada Soeharto dianggap sebagai bentuk rekonsiliasi simbolik. Namun di sisi lain, luka sejarah dan pertanyaan moral tentang warisan Orde Baru masih terus menggantung di udara.
Tutut Soeharto Soal Polemik Gelar Pahlawan Ayahnya: Kami Tak Perlu Membela Diri, Rakyat Sudah Pintar
Senin 10-11-2025,12:43 WIB
Editor : Andika Prasetya
Kategori :