Dugaan keterlibatan bisnis Chandra makin panjang. Ia juga disebut menjadi komisaris di PT Green Indonesia Alumina sejak Mei 2023, perusahaan yang bergerak di industri logam dasar bukan besi dan berencana membangun proyek smelter alumina di Belitung senilai Rp 37 triliun.
UI menyebut perusahaan ini berpotensi mendapat fasilitas pajak karena memenuhi kriteria sebagai industri pionir. “PT GIA memenuhi kriteria persyaratan sebagai industri pionir yang dapat diberikan fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan berdasarkan penentuan dari Kepala BKPM yang mana terlapor menduduki jabatan tersebut pada periode 2019–2024,” tulis UI.
Hingga berita ini ditulis, Chandra belum memberikan tanggapan atas informasi tersebut.
Guru Besar UI Rizal Edy Halim menilai persoalan ini tidak bisa dipandang remeh. Ia mengatakan masalah etika merupakan hal paling serius di dunia akademik. “Saya tidak tahu kenapa majelis hakim mengabaikan itu. Saya pikir sudah clear bukti-bukti yang disampaikan kuasa hukum dan UI soal apa saja konflik kepentingan yang terjadi,” ujarnya kepada wartawan di kantornya di UI, Depok, Jawa Barat, Senin 6 Oktober 2025.
BACA JUGA:Gubernur Jateng Minta SPPG Harus Siap Diperiksa Demi Keamanan Program MBG
UI sendiri tidak tinggal diam. Kampus kuning itu menyatakan akan menempuh upaya banding atas dua putusan PTUN Jakarta yang memenangkan gugatan promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil terhadap Surat Keputusan Rektor UI Nomor 475/SK/R/UI/2025. Dalam putusan itu, hakim memerintahkan Rektor UI mencabut SK sanksi terhadap Chandra dan Athor Subroto.
Gugatan itu diajukan oleh dua pejabat akademik UI, yakni Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global periode 2021–2025 Athor Subroto, serta Dekan Fakultas Ilmu Administrasi periode 2021–2024 Chandra Wijaya. Namun bagi UI, persoalannya tidak berhenti di meja hakim. Mereka menilai yang sedang diuji bukan sekadar surat keputusan rektor, melainkan integritas akademik kampus dalam menghadapi dugaan pelanggaran etika di lingkaran pejabat publik.
Kasus ini kini menempatkan dunia akademik dan politik di jalur yang sama panasnya. Di satu sisi ada putusan hukum administratif, di sisi lain ada pertaruhan etika kampus. Dan di tengahnya, nama Bahlil masih jadi simpul yang belum terurai, antara jabatan, akademik, dan tambang.