Setelah mendeteksi ratusan akun yang dianggap provokatif, Polri memilih tak kasih ruang untuk konten viral yang menyesatkan. Menurut Himawan Bayu Aji, pemblokiran 592 akun yang dilakukan sejak 23 Agustus 2025 adalah bagian dari strategi “preemtif dan preventif” alias tindakan sebelum ambyar.
BACA JUGA:Protes 17+8 Menggema, Yusril Janji Pemerintah Tak Akan Tuli
Tapi meski jempol sudah diborgol secara digital, bukan berarti kekacauan di lapangan langsung padam. “Keamanan di lapangan tetap kami siapkan. Tapi ya tetap tergantung situasi saat kejadian berlangsung,” kata Himawan.
Saat ini, Bareskrim masih menyisir benang merah antar akun, mencari tahu apakah postingan A berkaitan dengan kerusuhan B dan mungkin bertaut ke akun Z yang diam-diam nge-share tautan di grup WA. Intinya satu akun tidak berdiri sendiri. Bisa jadi ia bagian dari orkestra digital yang lebih besar.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menegaskan aparat tak main hajar. Segala bentuk pengamanan unjuk rasa dijalankan secara tegas, terukur, dan sesuai undang-undang. Mereka membagi pendekatan menjadi tiga lapis: preemtif (ngingetin), preventif (ngamanin), dan represif (kalau bandel ya ditindak).
“Semua ini tujuannya demi menjaga kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” ujar Trunoyudo.
BACA JUGA:KPK Kembali Dalami Dugaan Korupsi Kuota Haji, Travel Ramai-ramai Disidang
Di tengah era di mana postingan bisa jadi panggilan aksi, langkah Polri memantau timeline rakyat dianggap wajar—selama tidak membungkam hak bicara, dan benar-benar membedakan mana suara rakyat dan mana suara yang disponsori niat chaos.