Euforia Kripto Meledak Lalu Ambrol, Trader Ritel Menutup 2025 dengan Luka
Pasar kripto sempat euforia di 2025, namun berakhir pahit. Bitcoin turun, valuasi anjlok, dan trader ritel dipaksa ubah strategi.-Foto: Forbes-
JAKARTA, PostingNews.id — Harga aset kripto terbesar di dunia sempat bikin mata berbinar. Untuk pertama kalinya, nilainya menyentuh rekor US$126.000. Euforia itu datang di saat banyak penggemar kripto merasa angin politik berpihak, terutama setelah Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Selama berbulan-bulan, proyeksi optimistis bertebaran. Analis bicara soal tren bullish yang bisa berlangsung bertahun-tahun, ditopang pemerintahan yang ramah aset digital, suku bunga yang menurun, dan restu lembaga keuangan besar.
Keyakinan itulah yang mendorong seorang pemuda 21 tahun bernama Morales untuk masuk pasar. Saat harga Bitcoin turun di awal musim gugur, ia membeli. Beberapa hari kemudian harga turun lagi, ia menambah posisi. Penurunan berikutnya kembali disambut dengan aksi beli. Namun grafik tak kunjung berbalik. Token itu terus merosot.
“Saya menangkap pisau jatuh lima kali,” kata Morales, mahasiswa sarjana di IE University, dikutip dari Bloomberg, Selasa, 23 Desember 2025. Ia menyebut satu kata untuk menggambarkan perjalanan kripto sepanjang tahun ini, traicionero, yang berarti pengkhianat.
Cerita Morales bukan pengecualian. Menjelang akhir 2025, banyak trader ritel di berbagai belahan dunia menghadapi kenyataan serupa. Tahun ini sebenarnya dibuka dengan harapan tinggi. Regulasi lebih longgar, likuiditas global membaik, dan institusi besar ikut masuk pasar. Namun penutupnya jauh dari gambaran manis. Bitcoin tercatat turun sekitar 10 persen dibandingkan Desember tahun lalu. Lebih dari itu, valuasi gabungan seluruh pasar kripto menyusut sekitar US$1 triliun atau setara Rp16.770 triliun.
BACA JUGA:Angka Duka Terus Naik, Korban Bencana Sumatera Lewati 1.100 Jiwa
“Percampuran antara pemerintahan yang ramah atas kripto dan berbagai metode pasar saham untuk mendapatkan eksposur membuat investor yang menyukai momentum dengan mudah berbondong-bondong masuk ke kripto,” kata Steve Sosnick, kepala strategi di Interactive Brokers. “Kejatuhan mendadak kripto pada 10 Oktober menjadi peringatan yang sangat tidak disukai.”
Perubahan arah yang tajam ini memaksa banyak pelaku pasar untuk mengatur ulang strategi jelang 2026. Sebagian teringat luka lama pada 2022, ketika kolapsnya FTX memicu apa yang dikenal sebagai crypto winter. Namun ada pula yang menolak anggapan bahwa kripto akan kembali terjebak dalam fase gelap. Menurut mereka, aset digital sudah telanjur masuk arus utama. Kehadiran ETF yang ramah investor ritel membuat akses makin luas, sementara masuknya pemain institusional dinilai menciptakan stabilitas baru. Apa pun pandangannya, satu hal sama. Banyak trader kini memilih merombak pendekatan.
Perbedaan strategi pun terlihat jelas. Filip Szymkowiak memilih jalur berisiko dengan fokus pada altcoin. Pemuda 28 tahun asal Poznan, Polandia, ini mendukung token seperti Sensei yang disebutnya sebagai memecoin deflasi, serta DEAI yang mengklaim berada di ekosistem kecerdasan buatan terdesentralisasi. Sepanjang tahun ini, portofolionya anjlok sekitar 35 persen. Meski begitu, ia tidak goyah. Bagi Szymkowiak, token kecil justru menyimpan ruang inovasi dan potensi keuntungan besar.
Ia menyebut tantangan terbesarnya adalah memilah informasi.
“Ada banyak hal yang tidak berguna di internet, 99% dari apa yang kamu lihat, itu sampah,” katanya. “Bagi saya, saya percaya bahwa pasar ini sedang berkembang, dan dengan itu datanglah mengesampingkan hype dan pasar yang didorong oleh utilitas dan infrastruktur nyata.”
BACA JUGA:Whoosh Terlalu Berat Ditanggung BUMN, Pemerintah Diminta Ambil Alih Pengelolaan
Fenomena ini juga ditangkap Stephen Sikes, chief operating officer platform perdagangan Public.
“Di kalangan investor ritel, kita melihat pasar yang bersifat bimodal,” kata Sikes. Ia melihat pemisahan yang tegas antara aset blue-chip seperti Bitcoin dan altcoin berkapitalisasi kecil. Dua dunia yang hidup berdampingan, dengan logika dan risiko yang berbeda.
Di sisi lain spektrum, ada pendekatan yang lebih konservatif. Jose Esteban Arrapalo, 36 tahun, petugas pinjaman asal Hollywood, Florida, memilih menjauh dari altcoin. Ia sempat melewatkan reli besar Bitcoin sebelum Oktober. Namun ketika harga anjlok ke kisaran US$85.000 pada akhir November, Arrapalo masuk dengan pembelian senilai US$10.000. Untuk sementara, langkah itu terbilang tepat karena dilakukan di titik terendah tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News