Usai Banjir, Hutan Terbelah dan Risiko Baru Mengintai Batang Toru Tapsel

Usai Banjir, Hutan Terbelah dan Risiko Baru Mengintai Batang Toru Tapsel

Banjir bandang mengubah lanskap Batang Toru Tapsel. Hutan terfragmentasi, risiko ekologis dan konflik manusia-satwa kian mengintai.-Foto: Dok. Agincourt Resources-

JAKARTA, PostingNews.id — Tanah Tapanuli hari ini memikul luka yang tak bisa disederhanakan sebagai jalan putus atau jembatan roboh. Banjir bandang dan amukan topan Senyar datang bukan sekadar merusak permukaan, tetapi membongkar isi perut alam. Sungai-sungai bergeser jalur, lereng bukit yang dulu rapat kini menganga, dan peta lama tak lagi bisa dipercaya.

Yang tersisa bukan hanya reruntuhan fisik, melainkan kecemasan baru yang pelan-pelan menyelinap. Ancaman justru muncul setelah air surut dan angin reda. Lanskap yang berubah drastis membuka pintu risiko yang lebih panjang, mulai dari keselamatan warga hingga keberlangsungan habitat satwa langka yang selama ini bergantung pada Ekosistem Batang Toru.

Hutan yang kini terfragmentasi tak lagi sepenuhnya mampu menjadi tameng. Di ruang-ruang yang terbelah itu, manusia dan satwa dipaksa berbagi wilayah dalam situasi serba tak pasti. Pertanyaan pun muncul dengan sendirinya. Sejauh mana perubahan fisik ini menggeser potensi konflik antara manusia dan satwa. Dan bagaimana data pembukaan lahan di dataran tinggi harus diterjemahkan menjadi kebijakan nyata sebelum bencana serupa kembali mengetuk pintu.

Perubahan ini ditangkap sebagai sinyal bahaya oleh Konservasi Indonesia. Bagi mereka, persoalan pascabencana bukan cuma soal menanam kembali pohon yang tumbang. Lanskap yang berubah membuka peluang aktivitas manusia masuk lebih jauh ke zona-zona rawan yang sebelumnya terlindungi.

BACA JUGA:Jalur Komunikasi Buntu, Dino Patti Djalal Tumpahkan Kritik Keras ke Menlu Sugiono Lewat Instagram

Senior Vice President and Executive Chair KI, Meizani Irmadhiany, menyebut tragedi ini sebagai pengingat keras bahwa keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan tak bisa dipisahkan.

“Perlindungan ekosistem, penataan ruang yang adaptif, serta pengelolaan risiko bencana harus berjalan bersama agar pembangunan benar-benar berkelanjutan,” katanya dalam keterangan tertulis yang dikutip, Senin, 22 Desember 2025.

Menurut Meizani, momen kelam ini justru membuka ruang koreksi besar. Pemerintah didorong untuk menata ulang Rencana Tata Ruang Wilayah agar berangkat dari kondisi nyata di lapangan, bukan sekadar dokumen sebelum bencana menghantam.

Data yang dikantongi menunjukkan kerusakan bukan cerita baru yang lahir bersama topan Senyar. Dalam lima tahun terakhir, sekitar 10.000 hektare lahan di ekosistem Batang Toru telah terbuka. Yang lebih mengkhawatirkan, lebih dari 73 persen pembukaan tutupan hutan itu terjadi di wilayah hulu pada ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut.

BACA JUGA:Sekolah Libur Bukan Alasan Puasa Gizi, Makan Bergizi Gratis Tetap Jalan Enam Hari

Program Manager Batang Toru KI, Doni Latuparisa, mengingatkan bahwa ekosistem ini tidak bisa dijaga dengan pendekatan sepotong-sepotong. Untuk tetap berfungsi, Batang Toru membutuhkan luasan utuh minimal 240.000 hektare.

“Dalam konteks ekosistem, yang dijaga bukan hanya batas administrasi. Keutuhan kawasan menjadi syarat utama,” ujar Doni. Ia menambahkan bahwa penataan ruang tak bisa berdiri sendiri dan harus melibatkan lintas sektor, termasuk Kementerian PUPR, agar pengelolaan daerah aliran sungai dilakukan secara menyeluruh.

Di lapangan, persoalan semakin rumit oleh beragam spekulasi yang beredar di tengah warga. Temuan kayu-kayu di desa terdampak memunculkan dugaan dan saling curiga. Situasi ini, menurut Sumatra Policy Manager KI, Dedy Iskandar, tak bisa dijawab dengan asumsi.

Dedy mendesak agar setiap klaim dijawab lewat pendekatan berbasis bukti. Kajian spasial objektif diperlukan untuk memetakan perubahan tutupan lahan dan penggunaan ruang secara jujur, sehingga publik tidak dibiarkan bersandar pada rumor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share