Walhi Sumut Tunjuk Jejak Korporasi dan Kerusakan Hutan di Tapanuli

Walhi Sumut Tunjuk Jejak Korporasi dan Kerusakan Hutan di Tapanuli

Walhi Sumut menilai banjir dan longsor di Tapanuli bukan semata bencana alam, melainkan dampak kerusakan hutan dan aktivitas korporasi.-Foto: Mighty Earth-

JAKARTA, PostingNews.id — Rentetan banjir bandang dan tanah longsor yang menyapu sejumlah wilayah di Sumatera Utara dalam beberapa pekan terakhir bukan sekadar cerita tentang hujan deras yang datang bertubi-tubi. Di balik air bah dan lereng yang runtuh, ada persoalan lama yang kian menumpuk dan kini meledak ke permukaan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara menilai bencana itu merupakan akumulasi kerusakan ekosistem yang berlangsung bertahun-tahun. Kerusakan tersebut, menurut mereka, dipicu aktivitas korporasi berskala besar yang perlahan menggerus fungsi alam sebagai penyangga hidup masyarakat.

Kesimpulan itu disampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Jejak Pembiayaan di Balik Bencana Ekologis Sumatera” yang digelar oleh TuK Indonesia pada Senin 22 Desember 2025. Forum tersebut menempatkan bencana bukan sebagai peristiwa alam semata, melainkan sebagai konsekuensi dari pilihan pembangunan.

Rianda Purba dari Walhi Sumatera Utara menjelaskan bahwa banjir dan longsor yang terjadi sejak 25 November 2025 di wilayah Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, hingga Kota Sibolga tidak bisa disederhanakan sebagai dampak cuaca ekstrem. Menurutnya, hilangnya fungsi ekologis hutan menjadi faktor penentu yang selama ini diabaikan.

BACA JUGA:Kejagung Disentil ICW, Jubir Bilang Nilai Reformasi Tak Bisa Diukur dari Ulah Oknum Jaksa

“Wilayah banjir terparah berada di tiga kabupaten Tapanuli dan Kota Sibolga. Kami mengidentifikasi bahwa penyebab utamanya adalah kerusakan di Ekosistem Batang Toru atau Harangan Tapanuli,” ujar Rianda Purba, dikutip pada Senin 22 Desember 2025.

Ekosistem Batang Toru membentang sekitar 240.000 hektare dan selama ini menjadi penyangga utama siklus hidrologis bagi wilayah sekitarnya. Hutan ini bukan hanya benteng alami penahan air, tetapi juga ruang hidup bagi keanekaragaman hayati langka seperti orangutan Tapanuli dan harimau Sumatera. Di saat yang sama, kawasan tersebut menjadi sumber penghidupan warga lokal lewat hasil hutan non-kayu seperti aren, kemenyan, dan durian.

Namun dalam satu dekade terakhir, lanskap itu berubah drastis. Walhi mencatat setidaknya 10.000 hektare hutan hilang, meninggalkan ruang kosong yang tak lagi mampu menahan air dan tanah. Rianda menyebut ada tujuh perusahaan yang teridentifikasi beroperasi di wilayah sensitif tersebut dan dinilai ikut mempercepat laju deforestasi.

Sejumlah entitas korporasi kemudian disorot. Di antaranya PT Agincourt Resources, perusahaan tambang emas yang dilaporkan terus memperluas area eksploitasinya hingga ribuan hektare dalam tiga tahun terakhir. Aktivitas tambang ini berada di kawasan yang selama ini menjadi bagian dari benteng ekologis Batang Toru.

BACA JUGA:Wacana Pilkada Lewat DPRD Muncul Lagi, PDIP Ingatkan Bahaya Mundurnya Demokrasi

Nama lain yang muncul adalah PT North Sumatera Hydro Energy, pengembang PLTA Batang Toru. Proyek ini disebut sebagai PLTA run-of-river terbesar di Indonesia dengan kapasitas total 510 megawatt dari empat turbin. Proyek tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan listrik puncak Sumatera, mendukung program 35.000 megawatt, serta diklaim mengelola aliran Sungai Batang Toru secara efisien dengan memperhatikan aspek lingkungan.

Di wilayah lain, terdapat PT Pahae Julu Micro-Hydr Power yang mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro berkapasitas 10 megawatt di Pahae Julu, Tapanuli Utara. Proyek ini ditujukan untuk mencukupi kebutuhan listrik lokal dan mendorong industrialisasi daerah berbasis energi terbarukan.

Selain itu, Walhi juga menyoroti kehadiran PT SOL Geothermal Indonesia sebagai operator PLTP Sarulla. Pembangkit panas bumi ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia dengan kapasitas 330 megawatt dan beroperasi bersama mitra konsorsium seperti Medco Power untuk memenuhi kebutuhan energi Sumatera Utara.

Nama terakhir yang masuk daftar sorotan adalah PT Toba Pulp Lestari Tbk. Perusahaan ini mengelola hutan tanaman industri berbasis eukaliptus untuk memproduksi bubur kertas dan serat rayon. Meski mengusung komitmen keberlanjutan dan prinsip ESG serta program kemitraan sosial-lingkungan, riwayat operasinya kerap diwarnai konflik dengan masyarakat lokal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share