Siapa Sangka Hutan Amazon Disuburkan oleh Debu Sahara
Debu Sahara ternyata menjadi sumber fosfor penting yang menyuburkan Hutan Amazon. Fenomena ini terungkap lewat pengamatan satelit NASA.-Foto: The Archaeologist-
JAKARTA, PostingNews.id — Gurun Sahara dikenal sebagai lautan pasir terbesar yang pernah dibentangkan alam di muka Bumi. Bayangin saja, hamparannya membentang sekitar 3.000 mil dari timur ke barat dan bisa mencapai 1.200 mil dari utara ke selatan. Total luasnya menembus 3.320.000 mil persegi atau 8.600.000 kilometer persegi, sebuah ukuran yang bahkan tak kalah dari beberapa benua kecil. Luasnya pun tidak selalu tetap karena gurun ini bisa mengembang dan menyusut mengikuti perubahan zaman.
Meski terkenal sebagai tempat kering kerontang, Sahara bukan benar-benar tanpa air. Dua sungai permanen, Nil dan Niger, tetap mengalir melewati wilayahnya. Selain itu ada belasan danau musiman dan akuifer raksasa yang menjadi nyawa bagi lebih dari 90 oasis yang tersebar di tengah padang pasir.
Namun Sahara tetaplah daerah yang keras bagi makhluk hidup. Tanahnya tandus, bukit-bukit batu menjulang, dan gurun pasirmya berubah bentuk ditiup angin setiap hari. Sepertiga bagian utara Afrika ini hampir tidak pernah mendapat hujan dan hanya sedikit memiliki tumbuhan. Tetapi kehidupan tetap mencari cara. Catatan World Wildlife Fund menyebut ada sekitar 500 spesies tumbuhan di sana, bersama 70 spesies mamalia, 90 spesies burung, 100 spesies reptil, dan beragam laba-laba serta kalajengking yang bertahan di balik hawa menyengat.
Di tengah kesan gersang itu, Sahara ternyata memainkan peran penting bagi tempat yang terlihat bertolak belakang, yakni Hutan Amazon yang rimbun dan penuh warna di timur laut Amerika Selatan. Hutan terbesar di dunia tersebut hidup dari jaringan ekologi yang luar biasa kaya, namun punya satu kekurangan mendasar, yakni nutrisi fosfor. Di sinilah Sahara berperan.
BACA JUGA:Datang ke Forum Pemda–DPRD soal Pemotongan Anggaran, Purbaya: Saya Biasa Dibantai
Keduanya dihubungkan oleh aliran debu raksasa yang disebut sungai atmosfer. Jaraknya mencapai 16.000 kilometer dan mengalir secara periodik. Setiap tahun angin kuat dari Sahara mendorong awan debu melintasi Samudra Atlantik menuju Amazon. Debu ini, yang banyak berasal dari dasar danau purba di Chad, ternyata kaya fosfor. Sisa organisme yang mati ribuan tahun lalu terangkat kembali, melayang jauh, lalu jatuh sebagai pupuk alami bagi pepohonan Amazon yang kekurangan mineral tersebut.
Peneliti NASA sejak lama tertarik pada hubungan antar dua ekosistem yang begitu berbeda ini. Mereka ingin tahu mengapa proses tersebut terjadi dan bagaimana perubahan iklim bisa mengganggunya.
“Kami tahu bahwa debu memiliki peran penting dalam banyak cara yang kompleks,” kata Hongbin Yu, ilmuwan atmosfer dari University of Maryland yang bekerja di NASA Goddard Space Flight Center. “Debu memengaruhi iklim dan, pada saat yang sama, perubahan iklim juga akan memengaruhi debu.”
“Sebagai peneliti,” tambahnya, “kami mengajukan dua pertanyaan dasar. Berapa banyak debu yang terbawa? Dan bagaimana perubahan iklim memengaruhi jumlah debu yang melintasi Atlantik?”
BACA JUGA:PBNU di Persimpangan Jalan, Mahfud MD Bilang Penunjukan Pj Bisa Jadi Titik Runtuh Organisasi
Jawaban mulai terlihat sejak NASA meluncurkan satelit CALIPSO pada 2006. Untuk pertama kalinya, alat ini berhasil menghitung jumlah debu yang melakukan perjalanan lintas benua, hasilnya mengejutkan. Dari 182 juta ton debu yang meninggalkan Sahara setiap tahun, sekitar 27,7 juta ton atau 15 persennya jatuh di wilayah Amazon. Jumlah debu setara hampir 700.000 truk trailer ini berperan sebagai penyubur hutan raksasa tersebut.
CALIPSO, yang merupakan singkatan dari Cloud-Aerosol Lidar and Infrared Pathfinder Satellite Observation, bekerja dengan teknologi lidar untuk memindai atmosfer dan melihat penyebaran debu secara vertikal. Satelit ini rutin mengikuti jalur debu Sahara menuju Amazon, memberi gambaran tiga dimensi yang belum pernah ada sebelumnya.
Dari pengamatan itu terungkap bahwa jumlah debu yang menyeberangi Atlantik bisa berubah sangat drastis antartahun, bahkan hingga 86 persen antara 2007 dan 2011. Para peneliti menelusuri penyebabnya dan menemukan petunjuk di Sahel, sabuk tanah semi-kering di selatan Sahara. Saat curah hujan di Sahel meningkat, jumlah debu yang terbawa angin justru menurun.
Alasannya belum sepenuhnya jelas. Salah satunya, hujan mungkin mendorong tumbuhnya vegetasi yang menahan pasir agar tidak terbang. Penjelasan lain menunjuk pada perubahan pola angin, karena curah hujan dapat mempengaruhi arah dan kekuatan angin yang membawa debu ke atmosfer bagian atas, semacam jalan tol langit menuju Amazon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News