Hidup di Atas Tapak Kosong, Warga Aceh Tamiang Menanti Atap Baru yang Dijanjikan

Hidup di Atas Tapak Kosong, Warga Aceh Tamiang Menanti Atap Baru yang Dijanjikan

Warga Aceh Tamiang hidup di atas tapak rumah yang hilang usai banjir, menanti atap baru dan hunian sementara yang dijanjikan pemerintah.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id – Air bah yang menghantam Aceh Tamiang bukan hanya menumbangkan rumah demi rumah, tetapi ikut merenggut ruang paling nyaman yang selama ini jadi pegangan warga. Di hamparan puing dan lumpur yang belum benar-benar surut, kerinduan akan sebuah tempat pulang mulai terasa lagi. Banyak dari mereka kini menggantungkan harapan pada hunian tetap yang dijanjikan pemerintah setelah masa darurat bencana berakhir.

Marsel, seorang ibu di Aceh Tamiang, mengaku tak punya tempat untuk kembali. Rumah yang selama ini menaunginya hanyut disapu banjir dan hanya menyisakan tapak tanah yang kini jadi satu-satunya penanda. "Pertama, tempat tinggal. Karena rumah saya hanyut tinggal tapak saja. Jadi, boleh ditinjau, lah, rumah saya," ujar Marsel di Desa Sukajadi, Karang Tengah, Kamis 11 Desember 2025.

Sejak banjir datang, Marsel hidup dengan segala keterbatasan. Baju yang ia pakai pun berasal dari bantuan yang menumpuk di tenda penampungan. Warga bisa memilih pakaian seadanya di sana, mengambil apa saja yang sesuai kebutuhan. "Ini bajunya dari mana-mana, lah. Bantuan ini kita pun enggak tahu juga, jadi siapa saja boleh ambil, sebutuhnya, lah," kata Marsel.

Marsel masih mengingat betul momen ketika air datang. Ia sempat pingsan dan hanyut dibawa arus. Selama tiga hari, ia tak makan apa pun karena banjir belum mereda.

BACA JUGA:Cerita Kepanikan si Sopir di Balik Kecelakaan Mobil MBG di Sekolah Cilincing
 
"Pernah nggak ganti baju seminggu, nggak mandi setengah bulan. Saya nggak punya rumah tapi kita nggak bisa nampung apa-apa. Saya tinggalnya nempel-nempel begini, lah, jadi kalau ada orang bagi makan, saya dibagi makan," tuturnya.

Nasib serupa juga dialami Desi, 45 tahun. Rumahnya hancur lebur diterjang air dari hulu Sungai Kuala Simpang. Arus membawa kayu-kayu raksasa yang kini masih tergeletak bercampur lumpur. Tak satu pun rumah di kawasan itu berhasil selamat.

 "Mohon dibantu, Pak. Kami orang-orang yang sudah terkena musibah ini, kami ingin dikasih tempat yang layak lagi. Kami kalau panas kepanasan, debu banyak, anak-anak kecil kasihan. Kalau hujan, kami terkena hujan-hujanan juga," ucap Desi.

Di tengah situasi yang serba darurat ini, pemerintah mulai bergerak menyiapkan hunian sementara bagi warga terdampak. Anggaran Rp 30 juta disiapkan untuk setiap unit huntara yang direncanakan bagi korban banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

BACA JUGA:Dedi Tutup Tambang Lereng Gunung setelah Bandung Kebanjiran

Dalam laporannya kepada Presiden Prabowo Subianto, Kepala BNPB Suharyanto menjelaskan bahwa rumah yang dibangun nantinya merupakan tipe 36, ukuran yang dinilai cukup layak bagi keluarga korban bencana.

“Luasnya tipe 36, 8 kali 5, Bapak Presiden. Jadi daripada mereka tinggal di tenda ini, lebih representatif mereka tinggal di hunian sementara,” ujar Suharyanto dalam rapat koordinasi di Banda Aceh, Minggu 7 Desember 2025.

Huntara itu bakal dilengkapi kamar, fasilitas MCK, dan beberapa ruang lain yang dianggap penting untuk memulai kembali kehidupan warga. Proses pembangunannya akan dilakukan oleh Satgas TNI-Polri. Salah satu opsi hunian yang bisa dikerjakan cepat adalah model modular, yang kini makin banyak dikembangkan perusahaan swasta.

Di mata warga seperti Marsel dan Desi, janji hunian sementara bukan hanya soal bangunan baru, melainkan tentang kesempatan untuk kembali punya tempat berteduh yang layak. Di tengah tanah yang masih dihiasi lumpur dan jejak bencana, harapan itu menjadi satu-satunya yang tetap teguh mereka genggam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share