Diterjang AI, Media Tak Mati, Dari Jual Data sampai Buka Kursus Skripsi

Diterjang AI, Media Tak Mati, Dari Jual Data sampai Buka Kursus Skripsi

Meski diterjang disrupsi AI, media Indonesia tetap bertahan lewat inovasi bisnis baru dari jual data, pelatihan, hingga konsultasi skripsi.-Foto: IG @supratman08-

JAKARTA, PostingNews.id – Sejumlah perusahaan media di Indonesia mulai buka-bukaan soal cara mereka tetap hidup di tengah “badai AI” yang mengguncang industri. Teknologi akal imitasi ini memang bikin ngeri—bisa bikin nulis, bikin visual, bahkan bikin media kalang kabut. Tapi ternyata, buat sebagian media, AI bukan cuma ancaman, melainkan peluang buat lahirnya model bisnis baru.

Direktur Tempo Institute, Qaris Tajudin, jadi salah satu yang paling jujur soal strategi bertahan. Ia bilang Tempo sudah lama sadar kalau hidup hanya dari berita itu susah. “Kami punya bisnis lain seperti pendidikan, data science, event, Tempo TV, dan semuanya memberikan revenue terhadap bisnis Tempo,” kata Qaris dalam keterangan tertulis, Rabu, 22 Oktober 2025.

Pendapatan utama Tempo memang masih dari media, tapi biaya produksinya juga besar. Makanya, kata Qaris, mereka bikin program Independent Media Accelerator—sejenis dapur ide buat cari sumber duit baru di luar langganan dan iklan.

Selama dua tahun berjalan, program itu sudah melahirkan 30 media lokal yang berani bereksperimen, dari bikin pusat data investasi sampai jadi agen travel. Intinya, kata Qaris, yang penting tetap kreatif dan tetap orisinil. “Seperti apa konten yang diinginkan masyarakat? Pastinya yang eksklusif dan orisinil. Karena AI tidak bisa membuat berita atau konten yang eksklusif,” ujarnya.

BACA JUGA:DPR Restui Sidang Etik, Sahroni sampai Adies Kadir Siap Disidang MKD

Nada optimis juga datang dari CEO Valid News, Erik Somba. Ia yakin AI tidak akan mematikan jurnalisme. “Saya melihat jurnalisme masih kuat,” katanya. Erik bilang media digital sekarang bisa dapat duit dari mana saja—Google Adsense, platform bebas, bahkan konsultasi skripsi. Ya, Valid News ternyata buka jasa bantu mahasiswa ngerjain riset juga.

Sementara Vice President Indonesia Creator Economy (ICE) IDN, Hana Novitriani, bilang, dunia media sekarang sudah dibanjiri 12 juta kreator konten aktif di Indonesia. Mereka bukan sekadar saingan media, tapi juga bagian dari ekosistem baru. “Media, kreator, dan AI dapat bersama-sama memberikan nilai lebih dalam ekosistem digital. 

Lebih dari sekadar mendapatkan audiens, tapi bagaimana mendapatkan trust,” ujarnya. Ia bahkan memperkirakan nilai ekonomi kreator bisa tembus Rp7 triliun pada 2030—peluang yang, kalau media cerdas, bisa digarap bareng-bareng.

CEO Berita Jatim, Dwi Eko Lokononto, justru tampil dengan gaya “anti-Google”. Ia mengaku medianya tidak paham SEO dan tak pakai Adsense sama sekali. Tapi justru dari personal branding, media itu bisa hidup. “Kami punya jasa konsultasi, event organizer, survei, dan beberapa pekerjaan komunikasi lainnya,” kata Dwi.

BACA JUGA:DPR Restui Sidang Etik, Sahroni sampai Adies Kadir Siap Disidang MKD

Kalau yang satu ini beda lagi. CEO Serayunews, Galih Wijaya, justru melihat AI sebagai mesin pertumbuhan. Dengan bantuan AI, medianya bisa bikin konten sponsor, pelatihan digital, dan proyek institusi. “AI membawa Serayunews mengalami kenaikan omzet lebih dari 1.000 persen dari tahun sebelumnya. Biaya produksi pun menurun 25 persen dan terus turun,” ujarnya.

Dari semua cerita itu, satu hal jelas—media sekarang dituntut lebih lincah dari sebelumnya. Yang malas berinovasi bakal lenyap pelan-pelan. Tapi yang berani main di area baru—dari data science sampai skripsi—masih punya peluang hidup. Di era AI, tampaknya yang benar-benar kalah bukan media kecil, tapi media yang berhenti berpikir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News