Reformasi Polri Bukan Tambal Ban Bocor, Tapi Operasi Besar untuk Bongkar Kultur Kekerasan

Reformasi Polri dituntut bukan sekadar ganti Kapolri, tapi bongkar kultur kekerasan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang hingga ke akar.-Foto: Antara via IG @jktinfo-
JAKARTA, PostingNews.id – Reformasi Polri bukan lagi urusan tambal-sulam, melainkan operasi besar-besaran yang menyentuh jantung institusi, mulai dari struktur kelembagaan, pola kerja operasional, sampai mentalitas aparat di lapangan. Targetnya jelas: polisi yang sipil, humanis, transparan, dan profesional, bukan polisi yang hobi gagah-gagahan di jalan atau main hakim sendiri.
Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Nicky Fahrizal, menyebut PR terbesar Polri justru ada di sisi kultur. Ia menegaskan reformasi di kepolisian belum dilakukan secara menyeluruh.
“Padahal, yang dibutuhkan hari ini adalah perubahan-perubahan yang sangat radikal untuk membongkar kultur yang tidak mencerminkan institusi kepolisian yang modern, demokratis, humanis, transparan, dan akuntabel,” kata Nicky kepada wartawan, Minggu, 14 September 2025.
Nicky tak asal bicara. Kasus demi kasus menegaskan reputasi Polri yang makin runyam. Ingat 18 polisi yang memeras warga Malaysia di ajang DWP Desember 2024? Lalu penembakan siswa SMK di Semarang, polisi tembak polisi di Solok Selatan, sampai tragedi domestik, yakni polisi membunuh ibu kandung di Bogor dan polwan membakar suami di Mojokerto.
BACA JUGA:Prabowo Didesak Jadi Komandan Reformasi Polri, Bukan Cuma Penonton di Istana
Itu belum menghitung catatan kelam: Tragedi Kanjuruhan, drama Ferdy Sambo, Teddy Minahasa, hingga kerusuhan Agustus-September 2025 yang menewaskan 10 orang.
Menurut Nicky, kunci perubahan ada di dapurnya: lembaga pendidikan polisi. “Perubahan kultural hanya bisa terjadi jika menyentuh lembaga pendidikannya. Selain itu, proses rekrutmen harus benar-benar transparan dan akuntabel sejak penerimaan kadet,” ujarnya. Kalau di hulu sudah penuh transaksi, jangan heran di hilirnya bau busuk juga keluar.
Namun, reformasi Polri bukan hanya soal mental. Polri terlalu “gemuk” dengan kewenangan, dari SIM sampai bisnis jasa keamanan. Tanpa pengawasan efektif, semua bisa jadi ladang basah. Nicky menyebut perlunya supervisor baru.
“Apakah Polri akan ditempatkan di bawah sebuah kementerian, seperti Kemenko Polkam, atau menjadi kementerian sendiri, misalnya Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Nah, ini perlu dikaji serius.”
Senada, pengajar FH Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menekankan akar masalah ada di rekrutmen. “Di hulunya busuk, ya, hilirnya juga pasti busuk. Sulit kita akan mendapatkan anggota-anggota kepolisian yang punya integritas kalau proses perekrutannya juga bermasalah, penuh dengan politik transaksional,” katanya.
Herdiansyah menambahkan, pergantian Kapolri memang bisa jadi pintu masuk, tapi itu hanya kosmetik jika tak dibarengi perombakan menyeluruh. “Pembenahan sistemik dari hulu ke hilir adalah langkah yang tidak bisa ditawar,” ujarnya.
Dengan kata lain, publik tak butuh polisi baru dengan seragam kinclong saja, tapi institusi yang benar-benar berubah, dari budaya main otot ke budaya melayani. Kalau tidak, reformasi Polri hanya akan jadi jargon, sementara rakyat tetap jadi sasaran kekerasan aparat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News