Misteri di Balik Amarah Rakyat, Siapa Pemicu Gelombang Demo Bubarkan DPR?

Misteri di Balik Amarah Rakyat, Siapa Pemicu Gelombang Demo Bubarkan DPR?

Tagar #BubarkanDPR memicu gelombang demo besar-besaran. Siapa dalang di balik kemarahan publik dan ledakan protes 25 Agustus 2025?-Foto: IG @jktinfo.-

JAKARTA, PostingNews.id – Berkali-kali rakyat memilih DPR, berkali-kali pula kepercayaan publik dikhianati para penghuni gedung parlemen Senayan. Dari skandal korupsi, undang-undang kontroversial, hingga keputusan yang dianggap tak berpihak pada rakyat, citra DPR kian terperosok.

Krisis kepercayaan itu meledak dalam gelombang protes besar-besaran, dengan puncaknya demonstrasi 25 Agustus 2025 yang memantik amarah publik.

Ajakan pembubaran DPR viral masif di media sosial. Poster, video, dan tagar #BubarkanDPR, #DesakPrabowoBubarkanDPR, hingga #BubarkanDPRSontoloyo jadi senjata perang warganet. Dari pelajar, mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil turun ke jalan, menuntut parlemen dibubarkan. 

Kemarahan publik makin meluap setelah pemberitaan soal tunjangan perumahan anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan, diberikan sejak Oktober 2024 setelah fasilitas rumah jabatan dicabut.

Padahal, menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), tanpa tunjangan itu pun, satu anggota DPR sudah mengantongi penghasilan sekitar Rp230 juta per bulan. Di tengah rakyat yang menjerit dilanda kesulitan ekonomi, fakta ini memicu gelombang kemarahan. Publik merasa dikhianati. “Sontoloyo!” jadi makian paling populer di lini masa.

Penelitian Drone Emprit pada periode 10–26 Agustus 2025 mengungkap, lonjakan interaksi digital menyentuh titik tertinggi sepanjang sejarah. Sejak 15 Agustus, sentimen anti-DPR makin menggila di X (Twitter), Youtube, Facebook, Instagram, hingga Tiktok. Pada 25 Agustus saja, tagar #BubarkanDPR meledak dengan 29.500 mentions dan 356 juta interaksi.

Lead Analyst Drone Emprit, Rizal Nova Mujahid, mengatakan gagasan pembubaran DPR kini bukan sekadar wacana pinggiran. Data mereka menunjukkan sentimen proaksi demonstrasi mendominasi percakapan dengan porsi 67 persen positif, sementara kelompok kontra dan netral tertinggal jauh. Mayoritas publik mendesak pembubaran DPR demi efisiensi anggaran negara dan mengakhiri budaya politik korup.

Di sisi lain, narasi sejarah diangkat lagi: publik mengingat dekrit pembubaran DPR era Presiden Sukarno, langkah serupa di masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan kilas balik gerakan reformasi 1998.

Arogansi Wakil Rakyat Picu Ledakan Emosi

Respons anggota DPR justru menyulut bara lebih besar. Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, melabeli mereka yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia.” Pernyataan ini jadi bensin di atas api, memperkuat kemarahan publik dan memantik amarah lebih luas.

Ketua DPR Puan Maharani sempat berusaha memadamkan narasi negatif dengan menyatakan, “DPR terbuka pada masukan.” Namun, publik menanggapinya dengan skeptis. Sentimen digital dan opini publik sama-sama menolak pernyataan itu, menganggapnya sekadar retorika tanpa bukti nyata.

Drone Emprit memetakan tiga kluster utama percakapan publik:

1. Pro-Aksi (Dominan, 67%)

DPR dianggap arogan, korup, tak berguna, dan jauh dari aspirasi rakyat. Gagasan pembubaran DPR didorong sebagai jalan keluar krisis politik dan efisiensi anggaran negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News