Viral Robot Polisi Seharga Rp4 Miliar, Mampukah Gantikan Anjing K9 dan Polisi Manusia?

Viral Robot Polisi Seharga Rp4 Miliar, Mampukah Gantikan Anjing K9 dan Polisi Manusia?

Ilustrasi anggota polisi berlutut bersama anjing pelacak K-9, sementara di belakangnya berdiri dua robot—satu humanoid dan satu robot berkaki empat—yang mengenakan identitas “POLISI”.-Foto: generate AI untuk Postingnews.id.-

Sementara itu, robot humanoid—yang tampak lebih atraktif di panggung karena berbentuk manusia lengkap dengan seragam polisi—didesain untuk kepentingan komunikasi publik dan edukasi. Dalam demo, ia dilibatkan dalam simulasi penangkapan pelaku tawuran dan pengendalian massa.

Komparasi dengan K-9 Tradisional

Dalam organisasi kepolisian, anjing pelacak (K-9) lazim dipakai untuk mendeteksi narkotika, bahan peledak, atau melacak korban hilang. Namun ongkosnya tidak kecil. Harga seekor anjing ras pekerja—German Shepherd, Belgian Malinois, atau Labrador—plus sertifikasi dasar bisa menembus Rp30-70 juta. Jika dilatih khusus (misalnya deteksi bom atau SAR) biayanya naik ke kisaran Rp100-300 juta.

Setelah itu, penyewa masih harus menanggung sewa bulanan Rp12-15 juta per ekor yang meliputi pakan, kesehatan, dan gaji pawang. Total biaya selama lima tahun—term kinerja lazim seekor K-9—dapat dengan mudah mencapai Rp880 juta hingga Rp1,1 miliar per anjing ketika seluruh komponen pemeliharaan dan honor personel dihitung.

Robot berkaki empat yang dipamerkan Polri—Robodog X30 buatan Deep Robotics yang dimodifikasi PT Ezra Robotics—dijual pada kisaran Rp3-4,1 miliar per unit, tergantung paket sensor dan kecerdasan seperti apa yang dipasang. Sekilas harganya bak lompatan kuantum bila dibanding satu ekor K-9 konvensional. Tetapi Polri mengklaim satu robot mampu memikul fungsi taktis empat sampai lima anjing plus handler sekaligus: memindai bahan berbahaya, menavigasi lorong sempit, dan beroperasi delapan jam nonstop tanpa risiko kelelahan atau cedera.

BACA JUGA:Bisa di Cairkan di Kantor Pos, Gini Cara Pengambilan BSU Rp600.000

Bila skenario itu terbukti, perbandingan kasar biaya lima-tahunan menjadi seimbang. Empat ekor K-9 dan empat pawang (sekitar Rp3,5-4,4 miliar) setara dengan satu robot plus ongkos perawatan elektroniknya. Di atas kertas, robot unggul dalam daya tahan, tidak menuntut jatah pensiun, serta bisa diprogram ulang saat fungsi baru dibutuhkan. Di sisi lain, anjing hidup memiliki keunggulan insting penciuman dan fleksibilitas gerak yang, sampai kini, belum dapat disaingi kecerdasan buatan.

Efektif atau Gimik?

Robot K-9 Polri yang tampil di Monas pada Hari Bhayangkara ke-79, 1 Juli 2025, sejatinya masih purwarupa demonstratif. Road-mapnya: uji lapangan sepanjang 2025, pengadaan terbatas lewat anggaran 2026, lalu operasi penuh paling cepat 2030. Netizen pun terbelah. Kelompok pro menyambut langkah modernisasi, menilai robot bisa dikirim ke zona bahaya—misalnya lokasi bahan kimia atau reruntuhan pascabencana—tanpa mengorbankan nyawa insan dan hewan.

Kelompok skeptis mengedepankan dua catatan. Pertama, ketergantungan pasokan dan dukungan teknis ke perusahaan Tiongkok—mulai komponen hingga firmware—menimbulkan kekhawatiran keamanan data dan biaya suku cadang. Kedua, publik menuntut reformasi sumber daya manusia lebih dulu: disiplin, transparansi, hingga akuntabilitas yang selama ini menjadi akar kritik terhadap institusi. Tanpa perbaikan di ranah SDM, kata mereka, robot mahal berpotensi menjadi gimik seremonial, alih-alih penopang profesionalisme kepolisian.

Debat itulah yang kini menggelinding di berbagai kanal digital. Polri memegang kunci pembuktian apakah angka miliaran rupiah itu akan bermetamorfosis menjadi efektivitas nyata—menekan biaya jangka panjang, menurunkan risiko personel, sekaligus meningkatkan kepercayaan publik—atau justru sekadar menambah deret panjang peralatan canggih yang jarang menyentuh aspal jalanan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News