Jokowi Mode Serius di Kasus Ijazah Palsu

Jokowi Mode Serius di Kasus Ijazah Palsu

Jokowi membawa kasus tuduhan ijazah palsu ke ranah hukum untuk ditindaklanjuti.-Fauzan-Antara Foto

POSTINGNEWS.ID - Tuduhan mengenai ijazah palsu yang dialamatkan kepada Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali mengemuka dan menyita perhatian publik.

Isu lama ini muncul kembali ke permukaan, terutama di ranah media sosial, dan menyeret beberapa tokoh publik serta pengamat politik dalam perdebatan panjang yang memecah opini masyarakat.

Di tengah derasnya narasi yang berkembang, Jokowi mengambil langkah hukum.

Langkah ini menandai pergeseran pendekatan Jokowi, yang selama menjabat dikenal lebih memilih diam atau bersikap tenang dalam menghadapi berbagai tuduhan itu.

Kali ini, dengan statusnya sebagai warga sipil, Jokowi memutuskan untuk membawa kasus dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran fitnah ke ranah hukum. Tindakan ini sekaligus menegaskan bahwa dirinya tak lagi berada dalam posisi kekuasaan, namun tetap memiliki hak yang sama sebagai warga negara untuk mencari keadilan.

Dari Tuduhan Lama ke Langkah Nyata

Isu ijazah palsu bukan hal baru bagi Jokowi. Tuduhan ini sudah muncul sejak masa kampanye pertamanya pada 2014 dan kembali mencuat di Pilpres 2019.

Meski telah beberapa kali dibantah dan diverifikasi keabsahannya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), narasi tersebut tampaknya terus digunakan oleh pihak-pihak tertentu, bahkan setelah Jokowi tak lagi menjabat.

Kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan, dalam program Dua Arah Kompas TV, menegaskan bahwa kliennya saat ini bertindak sebagai warga negara biasa yang memiliki hak untuk melindungi nama baiknya.

“Jangan karena beliau pernah menjabat, lalu seakan-akan hak hukumnya lebih rendah dari masyarakat biasa,” tegas Yakup.

Ia menambahkan bahwa tuduhan tersebut tidak hanya menyentuh ranah politis, tapi sudah masuk dalam kategori serangan personal yang merusak reputasi seseorang secara langsung.

Lebih lanjut, Yakup menjelaskan bahwa kritik terhadap seorang pejabat publik adalah hal yang wajar dan harus dihormati sebagai bagian dari demokrasi. Namun, ia menekankan pentingnya membedakan antara kritik dan fitnah.

“Kalau ada yang menyatakan 'saya tak suka kebijakan Jokowi', itu kritik. Tapi kalau bilang 'Jokowi pakai ijazah palsu' tanpa bukti sahih, itu fitnah,” ujarnya.

Bukti dan Verifikasi yang Pernah Dilakukan

Salah satu dasar kuat yang dijadikan rujukan oleh tim hukum Jokowi adalah proses verifikasi dokumen yang sudah dilakukan oleh KPU saat Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden.

Dokumen asli dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi telah diserahkan ke KPU, dan lembaga tersebut telah menyatakan bahwa verifikasi keabsahan ijazah dilakukan sesuai prosedur dan tidak ada kejanggalan.

Pernyataan resmi juga pernah dikeluarkan oleh Ketua KPU periode sebelumnya, yang menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan verifikasi langsung kepada institusi pendidikan tempat Jokowi menempuh pendidikan. Artinya, secara administratif dan legal, tidak ada alasan untuk meragukan keaslian ijazah yang dimiliki oleh Jokowi.

Pihak-Pihak yang Terlapor dan Kontroversi Riset

Salah satu pihak yang dilaporkan oleh tim hukum Jokowi adalah mantan Menpora dan pengamat teknologi, Roy Suryo. Dalam pernyataannya, Roy membantah bahwa unggahannya bermuatan fitnah.

Ia mengklaim bahwa unggahan tersebut merupakan bagian dari riset akademik dan memiliki dasar argumentatif yang sah.

“Kalau sampai ada kriminalisasi terhadap penyampaian berbasis riset, ini tentu tidak elok,” katanya.

Namun, pernyataan Roy ini menuai kontroversi. Beberapa akademisi dan pakar hukum menyebut bahwa 'riset' yang dijadikan alasan tidak bisa dijadikan tameng jika data dan metode yang digunakan tidak memenuhi kaidah ilmiah.

Apalagi, jika hasil dari "riset" tersebut disebarluaskan tanpa konfirmasi kepada pihak terkait atau tanpa mencantumkan data yang dapat diverifikasi secara publik.

Antara Perlindungan Reputasi dan Isu Kebebasan Berekspresi

Langkah hukum Jokowi ini menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat. Sebagian pihak menganggap tindakan tersebut sebagai pembelaan diri yang sah terhadap tuduhan yang tidak berdasar.

Mereka menilai bahwa jika dibiarkan, fitnah seperti ini bisa menjadi preseden buruk yang mengaburkan batas antara kritik sah dan serangan personal yang melanggar hukum.

Namun di sisi lain, ada pula yang mengkhawatirkan bahwa langkah ini bisa menjadi pintu masuk bagi pembatasan kebebasan berpendapat, terutama jika hukum digunakan secara berlebihan terhadap kritik-kritik yang disampaikan oleh masyarakat.

Dalam konteks ini, sejumlah pakar hukum menekankan pentingnya pemisahan antara opini dan fakta. Kritik berbasis opini tetap dilindungi dalam sistem demokrasi, namun tuduhan yang disampaikan sebagai fakta tanpa bukti yang valid bisa dianggap sebagai delik pencemaran nama baik.

Upaya Menyudahi Narasi yang Tak Pernah Reda

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, banyak yang menilai bahwa langkah hukum ini merupakan bentuk ketegasan Jokowi dalam menanggapi narasi yang selama bertahun-tahun tidak pernah mereda.

Dalam dunia digital yang penuh informasi hoaks dan misinformasi, sikap ini dipandang sebagai cara untuk menegaskan bahwa kebebasan berbicara tetap harus diimbangi dengan tanggung jawab hukum dan moral.

Temukan konten postingnews.id menarik lainnya di Google News

Tag
Share
Berita Lainnya