Tunda Pemilu, Junta Myanmar Malah Perpanjang Masa Darurat untuk Lawan Pejuang Demokrasi

Tunda Pemilu, Junta Myanmar Malah Perpanjang Masa Darurat untuk Lawan Pejuang Demokrasi

Jenderal Min Aung, Pemimpin Junta Militer Myanmar.--Reuters

JAKARTA, POSTINGNEWS.ID - Senin (31/7), Junta Myanmar memutuskan untuk memperpanjang keadaan darurat negara selama enam bulan, menunda janji pemilihan umum.
 
Pengumuman ini datang dalam situasi di mana militer terus bertempur melawan pejuang anti-kudeta dan pejuang pro-demokrasi di seluruh negeri.
 
Sejak kudeta yang menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi lebih dari dua tahun lalu, Myanmar telah dilanda kekerasan mematikan.
 
Kudeta tersebut memicu penumpasan berdarah oleh junta terhadap perbedaan pendapat di seluruh negara, sambil memperlambat perekonomian.
 
Pimpinan Junta, Min Aung Hlaing, mengakui bahwa sebagian besar negara belum sepenuhnya berada di bawah kendali militer penuh.
 
 
Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC), yang dikuasai oleh junta, setuju untuk memperpanjang keadaan darurat yang diumumkan setelah kudeta.
 
Undang-undang dasar 2008 yang diusulkan oleh militer Myanmar menuntut pemilihan umum baru dalam enam bulan setelah mencabut status darurat.
 
Namun, junta sebelumnya menunda pemungutan suara yang dijadwalkan pada Agustus.
 
Min Aung Hlaing menyatakan bahwa pertempuran masih berlangsung di beberapa wilayah, termasuk Sagaing, Magway, Bago, Tanintharyi, dan negara bagian Karen, Kayah, serta Chin.
 
Konflik ini telah menyebabkan mimpi buruk bagi rakyat Myanmar, dengan ledakan bom dan pertempuran mingguan, dan ribuan warga sipil menjadi korban.
 
 
Junta telah memperpanjang keadaan darurat sebelumnya pada bulan Februari karena situasi yang belum pulih sepenuhnya.
 
Kelompok-kelompok anti-kudeta yang dikenal sebagai "Pasukan Pertahanan Rakyat" telah berhasil menggulingkan kudeta, menarik militer ke dalam konflik berdarah.
 
Upaya diplomatik untuk mengakhiri konflik melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah gagal karena penolakan militer untuk berdialog dengan lawan-lawannya.
 
Tindakan keras militer telah menyebabkan lebih dari 3.800 orang tewas dan lebih dari 24 ribu orang ditangkap.
 
Junta juga mengklaim bahwa lebih dari 5.000 warga sipil telah dibunuh oleh kelompok yang mereka anggap sebagai "teroris" sejak kudeta.

Temukan konten Postingnews.Id menarik lainnya di Google News

Sumber: