Ilmuwan Temukan Ragi Gendut sebagai Calon Pengganti Minyak Sawit, Janjinya Bisa Selamatkan Hutan

Jumat 05-12-2025,20:41 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id – Industri minyak sawit sudah lama menjadi kambing hitam di meja makan isu lingkungan. Ketika perkebunan sawit melebar, hutan menyusut dan semua makhluk yang tinggal di dalamnya ikut kena imbas. Karena itu para peneliti kini sedang memutar otak mencari alternatif yang tidak ikut memperparah bumi.

Masalahnya jelas. Perkebunan kelapa sawit tumbuh lebih cepat daripada kemampuan hutan untuk mempertahankan diri. Deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, sampai emisi gas yang membuat langit hampir selalu murung di sebagian Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika adalah cerita lama yang tidak lucu lagi.

Yang membuat perkara makin rumit, minyak sawit dipakai di segala penjuru. Makanan, kosmetik, sampai barang-barang kemasan yang memenuhi rak supermarket. Kemungkinan besar separuh isi supermarket diam-diam mengandung minyak sawit, meski di labelnya tertulis gliserin, asam stearat, atau nama lain yang terdengar ramah tapi menyamarkan sumbernya.

Karena itulah sejumlah ilmuwan berusaha menemukan jalan keluar yang tidak merusak hutan. Setelah lebih dari satu dekade riset, tim di Bath University yang dipimpin ahli kimia Prof Chris Chuck akhirnya menemukan makhluk kecil yang berpotensi besar. Sebuah ragi bernama Metschnikowia pulcherrima.

BACA JUGA:Kemendagri Heran Bupati Aceh Selatan Pilih Umrah Saat Warganya Kebanjiran

“Ragi ini tumbuh di anggur” kata Chuck. “Ragi ini sudah digunakan dalam industri anggur organik. Jika Anda mendapatkan aroma blackcurrant yang nikmat dalam anggur merah Anda terutama dari Afrika Selatan, tempat mereka sangat menyukainya itu berkat Metschnikowia.”

Awalnya ragi ini mengandung sekitar 20 persen lemak. Tim peneliti kemudian memainkan evolusi terarah, sebuah metode yang mirip kawin silang tapi dengan tekanan lingkungan tertentu. Tujuannya sederhana, membuat ragi ini lebih gendut dan produksi lemaknya meningkat.

“Sekarang, sekitar setengahnya adalah lemak murni” kata Chuck. “Bukan bermaksud meremehkan ragi, tetapi ragi ini sangat berlemak. Dan kami berhasil membuatnya tumbuh jauh lebih cepat.”

Menumbuhkan minyak ragi ini juga tidak membutuhkan lahan seluas kabupaten atau mesin industrial yang berisik. Yang dibutuhkan hanya sebuah tong besar. Isi tong diberi makan limbah makanan seperti sisa pabrik roti atau kentang. Setelah sel-selnya mencapai batas maksimal, ragi akan membelah dan melepaskan minyak. Minyak itu kemudian dimurnikan dengan proses serupa minyak nabati lainnya.

BACA JUGA:PBNU Pastikan Pencopotan Gus Yahya Sudah Final dan Berlaku Mengikat

Sisa ragi yang tidak berminyak pun tidak mubazir. Separuhnya bisa diubah menjadi bahan pangan lain seperti pengemulsi alami atau beta-glukan, serat yang terkenal baik untuk jantung dan biasa ditemukan dalam oat.

Para ilmuwan juga bisa memainkan lingkungan tempat ragi tumbuh untuk mengubah rasa, tekstur, atau profil nutrisinya. Bila dibutuhkan, ragi bisa dijadikan lebih jenuh atau kurang jenuh demi meniru berbagai jenis lemak.
“Jika kita melakukan ini dengan benar, kita dapat mencegah penebangan hutan tropis” kata Chuck. “Saat ini, kita menggunakan lahan seluas Argentina untuk menanam minyak nabati salah satu dari lima negara terbesar di dunia.”

Permintaan minyak tropis memang tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Industri minyak sawit bernilai 50,6 miliar dolar pada tahun 2021 dan diperkirakan melompat menjadi 65,5 miliar dolar pada 2027. Semakin besar permintaan, semakin banyak hutan yang terancam berubah menjadi ladang.

“Kita membutuhkan hutan yang tersisa untuk menjadi paru-paru planet ini” kata Chuck. “Kita tidak bisa menebang semuanya.”

BACA JUGA:Ratusan Desa di Sumatera Dilaporkan Hilang Ditelan Arus, Berubah Jadi Sungai

Menurut Chuck, mengganti sebagian minyak tropis dengan minyak berbasis ragi bukan hanya soal melindungi pohon tetapi juga soal menekan emisi. “Tanaman tropis ini menghasilkan lebih banyak CO2 daripada minyak yang dihasilkannya” ujarnya. Ia menambahkan bahwa minyak ragi menghasilkan 95 persen lebih sedikit karbon dioksida dan dapat ditanam hampir di mana saja.

“Teknologi fermentasi presisi ini memungkinkan kita untuk menempatkannya secara lokal” jelasnya. “Kita bisa menempatkannya di pinggiran kota Birmingham, mengambil limbah dari pabrik-pabrik di Birmingham, membuat minyaknya. Kemudian mengembalikannya ke lingkungan setempat.”

Minyak sawit versi ragi ini diklaim tidak lama lagi masuk pasar. Chuck menyebut produk itu mungkin lebih dulu hadir dalam kosmetik pada akhir 2025 atau awal 2026, lalu muncul di bahan makanan tidak lama setelahnya.

Dengan kata lain, dunia mungkin akan punya minyak baru yang tidak perlu merebut tanah hutan. Dan kalau ragi ini benar-benar berhasil menggantikan sebagian minyak sawit, hutan bisa bernapas sedikit lebih lega, meski manusia tetap makan gorengan.

Kategori :