JAKARTA, PostingNews.id — Kalau ada yang mengira kekuasaan Romawi cuma soal pedang, pasukan baja, dan Kaisar yang suka marah-marah, mereka keliru besar. Di belakang panggung, urusan ranjang dan cincin kawin justru ikut menentukan siapa duduk di mana dalam politik. Di Romawi Kuno, nikah itu bukan sekadar upacara manis, tapi sering jadi jurus politik yang lebih tajam daripada tombak tentara legiun.
Buat para bangsawan, menikah itu bukan urusan hati berbunga-bunga. Lebih mirip strategi bisnis keluarga. Mau aman posisi? Cari pasangan yang keluarganya punya nama. Mau naik level politik? Nikah dengan keluarga berpengaruh bisa langsung buka pintu ke jabatan publik. Bahkan kehidupan rumah tangga mereka diatur lebih rapi daripada catatan pajak. Dari hidup bareng, perjanjian pranikah, sampai soal cerai, semuanya sudah ada pakemnya sejak ribuan tahun lalu.
Buat orang Romawi, pernikahan bukan sekadar tanda cinta, tapi status sosial. Mereka melihat matrimonium sebagai ikatan dua orang setara, setidaknya di atas kertas. Dalam praktiknya? Ya tetap saja jadi alat penting untuk menaikkan posisi, memperluas harta, dan memastikan garis keluarga tidak putus. Orang tua pun ikut turun tangan memilih calon demi menjaga martabat keluarga.
Asal katanya saja sudah ketahuan. Matrimonium berasal dari kata mater yang artinya ibu. Artinya pernikahan itu untuk melahirkan penerus. Tapi bonusnya lumayan, mulai dari naik kelas sosial sampai makin kuat jaringan politiknya. Di awal sejarah, pernikahan tidak diatur negara dan cuma jadi urusan keluarga. Tapi begitu Kaisar Augustus masuk gelanggang, aturan negara mulai ikut campur dalam urusan ini.
BACA JUGA:PSI Diminta Tinggalkan Citra ‘Jelita’ dan Berpihak pada Akar Rumput
Untuk bisa menikah, seseorang harus punya hak khusus bernama connubium, yakni kemampuan hukum bagi laki-laki untuk mengambil perempuan sebagai istri sah. Ulpian, ahli hukum Romawi, mendefinisikan connubium sebagai “kemampuan menjadikan seorang wanita istri yang sah.”
Tidak semua orang punya hak ini. Warga Romawi dan sebagian orang Latin boleh menikah, tapi sebelum hukum Lex Canuleia tahun 445 SM, patricius dan plebeius tidak boleh campur. Usia juga menentukan. Perempuan minimal 12, laki-laki minimal 14. Kasim? Langsung gugur karena tidak akan mencapai pubertas. Monogami adalah aturan baku, dan hubungan sedarah jelas dilarang keras.
Jenis pernikahannya pun macam-macam. Ada pernikahan in manum yang membuat istri masuk kekuasaan keluarga suami. Sebaliknya sine manu muncul pada abad ke-3 SM dan jadi favorit pada abad pertama Masehi. Dalam sistem ini perempuan boleh punya harta sendiri dan mengurus hidupnya, apalagi jika ayahnya sudah tiada.
Selain pernikahan resmi, Romawi juga punya versi lain. Contuberium berlaku bagi para budak, sementara concubinatus adalah hubungan antara orang merdeka dengan budak atau orang yang dibebaskan. Tidak dicatat negara, tapi kalau tidak melanggar moral dan aturan, hubungan ini tetap diterima masyarakat.
BACA JUGA:Said Abdullah Persilakan Anak Muda Mengkritik PDIP, Katanya Forum Ini Tempatnya Buat Debat
Jadi, kalau ada yang bilang politik zaman sekarang penuh drama keluarga dan kepentingan, Romawi sudah memulainya duluan, cuma kemasannya lebih elegan, lebih licin, dan jauh lebih strategis.