Ia menegaskan bahwa apa pun jasa Soeharto, memori kolektif bangsa tetap menyimpan bab kelam dari 32 tahun kekuasaannya. “Pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto yang berkuasa secara otoriter sebagai Presiden RI selama 32 tahun patut dipertanyakan,” ujar Alissa.
Di Yogyakarta, penolakan bahkan turun ke jalan. Massa menggelar aksi di simpang empat Jalan Jenderal Sudirman. Juru bicara “Jogja Memanggil”, Bung Koes, menyebut lokasi itu simbolis karena menghadirkan dua wajah Orde Baru sekaligus, TNI dan Golkar. Ia menyatakan bahwa militer saat itu digunakan untuk menekan rakyat demi mempertahankan kekuasaan, sementara Golkar menjadi kendaraan politik untuk melanggengkan kebijakan Soeharto.
“Dulu tahun 98, Golkar itu diusulkan dibubarkan. Bahkan desakan dari rakyat salah satunya untuk membubarkan Golkar,” katanya. Namun, lanjutnya, ketika Golkar tetap eksis, justru terbukti partai tersebut paling getol mendorong Soeharto menjadi pahlawan sejak 2010.
Di tengah riuh pro-kontra itu, Bahlil memilih tetap pada jalur pembelaan yang konsisten. Bahwa Soeharto layak, bahwa Golkar berterima kasih, dan bahwa selebihnya biarlah masyarakat menenangkan diri di rumah ibadah masing-masing. Demokrasi memang memberi panggung bagi perbedaan. Tapi kenyataan bahwa panggung itu kembali ramai gara-gara satu gelar, menandakan betapa kuat bayangan masa lalu masih berdiri di tengah-tengah kita.