Saldi Isra Sindir Fenomena No Viral No Justice, MK Bilang Hukum Bukan Konten TikTok

Jumat 14-11-2025,17:25 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id — Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, kembali menyoroti fenomena yang makin populer di tengah masyarakat. Setiap kali ada kasus hukum yang bikin geram publik, muncul seruan no viral no justice, seolah tanpa hiruk-pikuk media sosial keadilan tak akan turun dari langit.

Namun, Saldi mengingatkan bahwa ukuran viral sebenarnya tidak bisa diadopsi begitu saja untuk semua perkara, terutama perkara yang bersifat abstrak dan menjadi ranah Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, konsep itu mungkin cocok untuk kisah-kisah konkret di lapangan, tetapi tidak berlaku untuk persoalan norma hukum yang diuji MK.

“Dalam konteks kasus abstrak, tidak bisa berdasarkan no viral - no justice,” ujar Saldi saat berbicara di UMY Yogyakarta, Jumat 14 November 2025.

Ia kemudian mengingatkan beberapa contoh kasus konkret yang memang bergema karena dorongan opini publik. Mulai dari kasus Nenek Minah hingga guru di Sulawesi yang kehilangan pekerjaan hanya karena meminta orang tua murid patungan menggaji guru honorer yang sudah berbulan-bulan tak digaji. Untuk kasus seperti itu, menurut Saldi, wajar jika publik memainkan peran besar.

BACA JUGA:Kena Putusan MK, BGN Mulai Hitung-hitungan Nasib Jenderal di Kursi Wakil Kepala

Namun, ketika masuk ke ranah pengujian undang-undang yang sifatnya abstrak, Saldi mempertanyakan apakah opini publik benar-benar bisa mempengaruhi hakim konstitusi. “Seberapa jauh opini publik mempengaruhi hakim, kami belum menemukan buktinya,” kata dia.

Saldi juga menyinggung soal anggapan bahwa hakim seharusnya benar-benar steril dari intervensi. Ia menilai ekspektasi semacam itu terlalu idealis untuk lembaga sebesar MK, yang kewenangannya langsung diberikan oleh UUD 1945. Dunia nyata, menurutnya, tidak sesederhana itu. 

“Pendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh diintervensi itu terlalu ideal. Wajar saja orang berupaya mengintervensi atau memengaruhi MK, dengan kewenangan sebesar itu,” ujar Saldi.

Justru di sinilah tantangan sebenarnya. Bukan menghilangkan intervensi, melainkan mencari figur hakim yang tidak mudah goyah oleh tekanan politik, opini publik, maupun kepentingan kekuasaan. “Yang harus kita siapkan adalah bagaimana menemukan hakim yang bisa tahan terhadap intervensi itu,” kata dia.

BACA JUGA:Putri Pakubuwono XIII Tolak Penobatan Pangeran Mangkubumi

Saldi juga menyinggung pentingnya proses seleksi hakim konstitusi yang benar-benar ketat. Ia membandingkan dengan Amerika Serikat yang proses pemilihannya sarat tarik-menarik politik.

Ia mengingatkan bagaimana Mahkamah Agung Amerika baru memiliki court of ethics pada 2023, itu pun setelah adanya kasus pelanggaran etik oleh Hakim Clarence Thomas. Ironisnya, meski kode etik ada, mekanisme penegakannya tidak terlalu jelas.

Sebaliknya, menurut Saldi, MK Indonesia justru sudah punya sistem etik yang berjalan. Ia mengingatkan bahwa MK tidak segan mengambil tindakan keras ketika etik dilanggar.

“Kita sudah pernah memberhentikan Pak Akil Mochtar, pernah juga memberhentikan Pak Patrialis Akbar karena melanggar etik, ini artinya, sistem bekerja,” katanya.

BACA JUGA:Maha Menteri Tedjowulan Ngaku Dijebak Di Penobatan Mangkubumi

Kategori :