JAKARTA, PostingNews.id — Pemerintah akhirnya menekan pedal rem dalam pembangunan smelter nikel baru yang hanya menghasilkan produk antara. Langkah ini dianggap penting untuk mengarahkan industri nikel Indonesia ke tahap hilirisasi yang lebih dalam, bukan sekadar berhenti di produk setengah jadi seperti nickel matte atau mixed hydroxide precipitate (MHP).
Pembatasan tersebut resmi tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Dalam aturan itu ditegaskan, industri pembuatan logam dasar bukan besi tidak lagi diizinkan membangun smelter yang hanya memproduksi produk antara seperti nickel matte, MHP, feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI).
“Dalam hal menjalankan kegiatan pemurnian nikel dengan teknologi pirometalurgi [RKEF], memiliki dan menyampaikan surat pernyataan tidak memproduksi NPI, FeNi, dan nickel matte,” demikian bunyi lampiran beleid tersebut yang dikutip pada Minggu, 9 November 2025.
Pembatasan juga berlaku bagi smelter berbasis teknologi hidrometalurgi atau high pressure acid leach (HPAL) yang hanya memproduksi MHP, bahan baku penting untuk baterai kendaraan listrik. Smelter yang dimaksud termasuk kategori industri manufaktur, bukan yang terintegrasi langsung dengan pertambangan. Artinya, aturan ini menyasar perusahaan yang memegang izin usaha industri (IUI) dari Kementerian Perindustrian.
BACA JUGA:Inflow Asing Banjiri Pasar Saham, BREN dan BRMS Diserbu Investor Global
Ketua Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah menilai kebijakan ini dirancang agar investasi di sektor nikel naik kelas. Menurutnya, pembatasan smelter yang hanya menghasilkan produk setengah jadi justru membuka peluang baru bagi investor untuk masuk ke rantai nilai berikutnya, seperti produksi baja tahan karat, nikel sulfat, hingga barang jadi.
“Melalui peraturan pemerintah ini, pemerintah Indonesia masih memperbolehkan proyek pengolahan dan pemurnian nikel baru sepanjang badan usaha tersebut tidak hanya bertujuan menghasilkan produk antara, tetapi juga mengembangkan produk akhir lebih lanjut,” ujar Arif kepada Bisnis pada Minggu, 9 November 2025.
Namun Arif meminta agar pemerintah tidak memukul rata semua proyek. Ia mengusulkan agar proyek smelter yang sedang dibangun tetap diizinkan berlanjut hingga rampung. Menurutnya, banyak perusahaan anggota FINI yang sudah lebih dulu membangun smelter sebelum PP Nomor 28 Tahun 2025 berlaku dan telah menggelontorkan dana investasi besar.
“Kami memohon agar pemerintah memberikan pengecualian terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025, dengan mempertimbangkan kesiapan produksi dan proses konstruksi atau pengembangan yang telah dilakukan,” katanya.
BACA JUGA:Tutut Soeharto Soal Polemik Gelar Pahlawan Ayahnya: Kami Tak Perlu Membela Diri, Rakyat Sudah Pintar
Ia menambahkan, permintaan ini semata-mata untuk menjaga produktivitas industri nikel hilir dan menciptakan iklim investasi yang kondusif serta berkeadilan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar menilai langkah pembatasan tersebut sudah tepat. Jumlah smelter di Indonesia, menurutnya, memang sudah kelewat banyak.
Bisman menjelaskan, kebijakan pembatasan ini dapat membantu menjaga keseimbangan pasokan nikel dan memperbaiki harga di pasar global. Dalam beberapa tahun terakhir, harga nikel global anjlok hampir 40 persen, dari US$38.000 per ton menjadi hanya sekitar US$15.000 per ton.
Ia menyebut kejatuhan harga ini tak lepas dari banjirnya pasokan nikel olahan di Tanah Air. Smelter tumbuh cepat, tetapi permintaan global stagnan. Akibatnya, beberapa smelter besar, terutama yang dibiayai investor China, kini kesulitan bertahan.
BACA JUGA:Dilema Ojek Online: Aplikator Tersenyum, Driver Murung