Bicara Soeharto Jadi Pahlawan, Adian: Demokrasi dan Hutan Kita Masih Menanggung Lukanya

Kamis 06-11-2025,17:15 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id — Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali memicu penolakan, terutama dari kalangan yang pernah terlibat langsung dalam gerakan reformasi 1998. Salah satunya adalah Adian Napitupulu, aktivis yang turut berperan dalam tumbangnya kekuasaan Orde Baru.

Adian menilai tak ada keteladanan yang dapat dijadikan landasan untuk menyematkan gelar pahlawan kepada Soeharto. Ia mengingat masa 32 tahun kekuasaan Orde Baru yang sarat dengan praktik otoritarianisme dan pembatasan ruang kebebasan sipil.

“Gelar itu kan karena ada hal-hal yang memang menjadi keteladanan, kemudian ada banyak alat ukur ya segala macam. Nah, Soeharto apa ya?” ujar Adian kepada wartawan, Rabu, 5 November 2025.

Sebagian pihak kerap menjadikan pembangunan era Orde Baru sebagai alasan pembelaan. Namun bagi Adian, argumen tersebut tidak cukup. Ia mengatakan pembangunan bisa dilakukan oleh siapa pun yang memegang kekuasaan, sehingga tidak otomatis menjadi alasan untuk diangkat sebagai pahlawan.

BACA JUGA:Prabowo Akui Mengidolakan Eks Presiden Korsel, Ingin Bangun Pemerintahan yang Bersih

“Kalau gua pikir, siapapun bisa melakukan itu. Tapi kalau misalnya kemudian kita bilang apakah itu luar biasa, gua tidak lihat,” katanya.

Ia mengingat kembali bagaimana kebebasan pers dan hak petani dibatasi ketat. Banyak media dibredel dan ruang demokrasi dipersempit melalui pengaturan organisasi massa serta pembatasan sistem politik. Organisasi jurnalis, buruh, dan pemuda diwajibkan berada dalam wadah tunggal, sementara partai politik hanya diberi ruang dua partai di luar Golongan Karya.

“Artinya, kebebasan berorganisasi sebagai syarat demokrasi juga tidak tumbuh tuh di masa Soeharto,” lanjut Adian.

Tak berhenti di situ, Adian juga menyoroti catatan pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam berbagai peristiwa sepanjang kekuasaan Orde Baru, mulai dari tragedi 1965, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, hingga Talangsari. Penindasan atas kebebasan beragama, termasuk larangan penggunaan jilbab di sekolah negeri, menjadi bagian dari rangkaian pelanggaran tersebut.

BACA JUGA:Bantah Dikendalikan Raja Jawa, Prabowo: Tak Ada Rasa Takut Saya dengan Jokowi

Adian kemudian menyinggung dampak kebijakan lingkungan yang berlangsung dalam era Soeharto. Menurutnya, praktik eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara masif atas nama pembangunan ekonomi.

“Sampai tahun ’95 atau tiga tahun sebelum jatuhnya Soeharto, ada sekitar 57 juta hektar hutan yang dijadikan HPH. Kalau kita asumsikan setiap hektar ada 200 pohon besar yang ditebang, maka paling tidak ada sekitar 11 miliar pohon lebih yang ditebang. Itu atas nama negara yang diberikan kewenangannya oleh Soeharto sebagai kepala negara,” jelasnya.

Kerusakan ekologis itu, kata Adian, tidak hanya menjadi catatan masa lalu, tetapi meninggalkan dampak langsung pada krisis lingkungan yang dihadapi masyarakat hari ini. Mulai dari kualitas udara yang menurun hingga perubahan iklim yang makin terasa.

“Pohonnya ditebang tahun ’95, dampaknya terhadap kualitas udara kita sampai sekarang dong. Bahwa mereka tidak tahu terjadi penebangan pohon itu benar, tapi bahwa dampaknya mereka rasakan,” katanya.

BACA JUGA:Muhammadiyah Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Kategori :