Lebih jauh, Yassierli mengajak semua pihak mengubah paradigma lama yang menempatkan pekerja sebagai beban.
Dalam pandangannya, pekerja harus dilihat sebagai aset berharga dan sumber daya strategis bangsa.
Apalagi saat ini, dunia kerja tengah menghadapi perubahan besar akibat kecerdasan buatan, otomatisasi, serta perubahan komposisi tenaga kerja yang kini didominasi generasi milenial dan Gen Z.
"Generasi muda bekerja tidak hanya untuk mencari penghasilan, tapi juga makna. Survei menunjukkan 24% di antaranya rela meninggalkan pekerjaan jika tidak menemukan purpose." paparnya.
BACA JUGA:Negara Darurat Kemanusiaan, Komnas HAM Soroti 10 Korban Tewas, Ribuan Ditangkap, Ratusan Luka-Luka
Untuk menjawab kebutuhan generasi baru ini, Yassierli menilai masa depan dunia kerja harus berpusat pada manusia atau people-centered transformation.
Organisasi, baik di sektor publik maupun swasta, dituntut untuk menciptakan ruang inovasi, mengedepankan budaya kolaborasi, serta membangun sistem kerja yang fleksibel dan bermakna.
Budaya kontrol yang kaku harus diubah agar pekerja bisa berkembang sesuai potensinya.
Ia juga menegaskan bahwa kompetensi masa depan tidak hanya ditentukan oleh keterampilan teknis, melainkan juga keterampilan non-teknis.
BACA JUGA:Polisi Tersangkakan 11 Pembakar Gedung DPRD Makassar, Rata-rata Mahasiswa
Kemampuan seperti learning agility, kecerdasan emosional dan design thinking menjadi kunci utama menghadapi perubahan yang semakin cepat.
Menurutnya, birokrasi memang berbeda dengan korporasi, namun keduanya tetap harus mampu beradaptasi.
"Birokrasi memang berbeda dengan korporasi. Tetapi jika birokrasi mampu agile dan people-centered, dampaknya akan luar biasa bagi bangsa." tuturnya.