POSTINGNEWS.ID - Umat Katolik bersama para biarawan Katolik di seluruh Kevikepan Bajawa, Kabupaten Ngada, NTT, menggelar aksi damai dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Aksi damai ini merupakan wujud cinta kasih umat Katolik Kabupaten Ngada terhadap ibu bumi yang memberikan kehidupan. Selain itu, aksi damai ini juga membawa pesan utama mengenai bumi yang perlahan sakit akibat ulah manusia sehingga perlu ada tindakan nyata dari semua pihak, termasuk pemerintah daerah Ngada.
Salah satu isu utama yang menjadi sorotan dalam aksi ini adalah rencana perluasan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko, yang diklaim sebagai bagian dari proyek strategis nasional untuk mendorong Flores menuju kemandirian energi berbasis panas bumi.
BACA JUGA:Siswa SD di Riau Meninggal Akibat Bully Beda Agama, Kemenham Usut Sampai Tuntas
"Meski mendapatkan penolakan secara terang-terangan, tegas dan keras oleh masyarakat, pemerintah terus bersikap degil. Ini dibuktikan dengan berbagai klaim mengenai kemajuan pembangunan konstruksi PLTP itu," kata Romo Reginald Piperno, biarawan dari Tim Advokasi Gerakan Menolak Geotermal Keuskupan Agung Ende.
Romo Reginald Piperno membeberkan bahwa, hingga April 2025, pembangunan konstruksi fisik telah mencapai 79,57%. Ini mencakup penyelesaian konstruksi empat area wellpad (wellpad A, B, C, dan D), penyelesaian pembangunan area penyimpanan peralatan proyek, serta pengaspalan jalan akses sepanjang 3 kilometer dari total 7 kilometer yang direncanakan.
Tak lupa, pemerintah selalu mengemukakan narasi-narasi pembangunan hijau.
Padahal, PLTP Mataloko telah menggoreskan luka yang sangat dalam bagi masyarakat dan bentang alam Mataloko akibat operasi PLTP yang tidak memperhitungkan keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan warga.
Sejak proyek ini dimulai pada tahun 1998, pengeboran yang dilakukan di beberapa titik telah menyebabkan semburan lumpur panas yang perlahan membentuk kubangan-kubangan kawah.
Kubangan kawah yang muncul di tengah ladang garapan warga Mataloko telah mengusir mereka dari ladangnya sendiri. Semburan lumpur panas yang datang tiba-tiba di halaman rumah dan dapur warga, mengusir mereka dari kampung rumahnya sendiri. Warga Mataloko dipaksa menjadi pengungsi di kampung halaman sendiri.
Ironisnya, operasi PLTP Mataloko tersebut gagal, tapi masyarakat dipaksa menanggung kerugian tersebut seumur hidup serta dipaksa hidup berdampingan dengan berbagai hal yang mengancam keselamatan hidup mereka.
"Apabila operasi PLTP dipaksakan, warga akan berhadapan dengan persoalan baru: udara beracun, seng atap rumah warga yang akan semakin mudah hancur, degradasi kualitas lahan akibat potensi paparan limbah B3, ancaman penurunan kualitas kesehatan akibat paparan udara yang terkontaminasi senyawa-senyawa toksik dari operasi PLTP hingga perampasan sumber-sumber air bersih," beber Romo Reginald.
Apabila hal tersebut dibiarkan terjadi, negara akan menjadi aktor utama yang merampas berbagai hak-hak dasar warga untuk hidup dalam lingkungan yang bersih, sehat, dan layak bagi kemanusiaan.
Dengan kata lain, negara akan berubah menjadi penjahat kemanusiaan bagi rakyat Mataloko.
Aksi damai ini merupakan wujud penegasan sikap Keuskupan Agung Ende menolak proyek geotermal di wilayahnya.