JAKARTA, POSTINGNEWS.ID - Mengejutkan jika mendengar sebuah kalimat perawan rasa janda tandanya ada suatu hal yang menjanggal dalam perawan tersebut.
Tak hanya di zaman saat ini, ternyata perawan rasa janda sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit.
Didalam kehidupan kerajaan Majapahit dunia pernikahan sangatlah diatur secara ketat.
BACA JUGA:Pamer Doang! Mobil Listrik Lucu Honda e Ternyata Tidak Dijual di Indonesia
Maksut dari perawan rasa janda sendiri yaitu dimana bila seorang perempuan sudah melakukan tunangan atau lamaran namun tak kunjung juga dinikahi.
Seperti kisahnya Wulanjar, Wulanjar sudah melakukan pertunangan selama lima bulan lamanya namun dirinya tak kunjung dinikahi secara sah.
Ketatnya aturan hukum mengenai pernikahan di kerajaan Majapahit tercermin dalam hukuman yang diterima sang calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan.
Adapun bab-bab yang diatur oleh kerajaan Majapahit mengenai peraturan pernikahan dan terbagi menjadi dua bab.
BACA JUGA:5 Kampus di Jabar Izinnya Sengaja Dicabut Karena Terlibat Praktik Jual Beli Ijazah
Adapun bab kitab Kakawin Negarakertagama, dimana ada dua bab yang menjelaskan khusus mengenai mahar atau bab tukon pada pasal 167, 171, dan 173.
Kemudian pada bab Perkawinan pada Pasal 180, 181, dan 182 yang terdapat di Kakawin Negarakertagama.
Bab tersebut telah dikutip dari buku "Tafsir Sejarah Nagarakertagama" dari karangan Prof. Slamet Muljana.
Pada bagian ada bab tukon atau mahar dijelaskan seorang gadis telah menerima barang yang dimaksud sebagai tukon atau mahar, kemudian kawin dengan laki-laki lain, karena menaruh cinta kepada laki-laki itu, sementara sang orang tua gadis tersebut tinggal diam, bahkan malah merestui pernikahannya. Maka perbuatan itu disebut mengawinkan gadis larangan.
BACA JUGA:Messi 'Fix' Bakal Hengkang dari PSG Musim Depan
Segala tukon pelamar pertama harus dikembalikan lipat dua. Sedangkan bapak si gadis itu dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Hal ini disebut amadal tukon, atau membatalkan tukon. Suami istri yang menikah, masing-masing dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa, sebagaimana diatur pada Pasal 167.