Bumi Makin Panas, Penyakit dari Hewan ke Manusia Ikut Mengintai

Bumi Makin Panas, Penyakit dari Hewan ke Manusia Ikut Mengintai

Pemanasan global memicu cuaca ekstrem dan mengubah risiko penyakit zoonosis. Ilmuwan menilai dampak iklim terhadap kesehatan manusia kian kompleks.-Foto: fao.org-

JAKARTA, PostingNews.id — Perubahan iklim kerap dibaca lewat angka suhu yang merangkak naik dari tahun ke tahun. Padahal ceritanya jauh lebih riuh. Cuaca makin susah ditebak, hujan turun deras tanpa aba-aba, banjir datang bergelombang, kekeringan muncul di sela musim, dan badai tak lagi kenal kalender. Semua itu bukan cuma soal lanskap alam yang berubah, tapi juga tentang tubuh manusia yang ikut berada di garis depan risiko.

Ketika Bumi mendekati ambang pemanasan 1,5 derajat Celsius, para ilmuwan mulai gelisah. Bukan hanya karena es mencair atau laut meninggi, melainkan karena satu pertanyaan besar belum terjawab tuntas. Apakah perubahan iklim akan memperburuk risiko penyakit, terutama penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia. Jawabannya sejauh ini tidak sesederhana dugaan awal.

Dunia yang menghangat dan tak stabil memaksa alam beradaptasi dengan cara yang kasar. Pola cuaca berubah, habitat alami bergeser, dan satwa liar berpindah mencari ruang hidup baru. Di titik inilah manusia dan hewan semakin sering berpapasan. Kontak yang kian rapat itu membuka peluang penularan penyakit, namun jalurnya tidak selalu lurus dan mudah ditebak.

Sebuah riset terbaru yang terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences memperlihatkan betapa rumitnya hubungan antara iklim dan penyakit. Tim peneliti mendapati bahwa dari 816 penyakit zoonosis yang diketahui menyerang manusia, dampak perubahan iklim baru diteliti pada sekitar 6 persen saja. Itu pun hasilnya kerap berseberangan. Suhu yang naik memang sering dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit, tetapi polanya tidak selalu linier. Sementara itu, peran curah hujan dan kelembapan masih abu-abu dan sulit dirumuskan.

BACA JUGA:PDIP Mainkan Kartu Regenerasi, Anak Muda dan Perempuan Maju di Jateng

Kerumitan ini diperparah oleh perbedaan metode dan standar riset. Hasil satu studi kerap sulit dibandingkan dengan studi lain, seolah setiap penelitian berbicara dengan bahasa sendiri. Artur Trebski, penulis utama studi tersebut, menilai pendekatan yang lebih sistematis mutlak diperlukan agar hubungan antara iklim dan penyakit bisa dipahami secara menyeluruh.

“Ada anggapan bahwa perubahan iklim akan memperburuk penyakit yang ditularkan hewan bagi manusia, tetapi penelitian kami menunjukkan bahwa masalahnya jauh lebih kompleks dari itu,” kata Artur.

“Begitu banyak variasi, bahkan dalam penyakit yang sama, sehingga kami membutuhkan lebih banyak nuansa dalam meringkas dampak kesehatan di masa depan akibat perubahan iklim,” sambungnya.

Nada serupa disampaikan rekan penulisnya, David Redding. Menurutnya, riset kesehatan masyarakat tak bisa lagi mengandalkan pendekatan tunggal yang menyamaratakan dampak iklim.

BACA JUGA:PHK Tembus 79 Ribu di 2025, Pemerintah Putar Otak: Jurus Baru Ini Diklaim Bisa Jadi Rem Darurat

“Fakta bahwa tidak ada cara yang konsisten untuk meneliti bagaimana berbagai hewan dan penyakit yang mereka bawa terpengaruh oleh proses ini sungguh mengejutkan.”

Ia berharap studi tersebut menjadi pijakan awal menuju kerangka penelitian bersama yang lebih terkoordinasi.

“Dengan lebih memahami nuansa hubungan ini, kita akan berada di posisi yang lebih baik untuk mengambil langkah-langkah pengendalian yang efektif.”

Penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit zoonosis memang sensitif terhadap perubahan iklim, tetapi responsnya beragam dan sering kali bertolak belakang. Hubungan terkuat terlihat pada faktor suhu. Suhu yang lebih tinggi hampir dua kali lebih mungkin meningkatkan risiko infeksi dibandingkan menurunkannya. Namun satu penyakit tidak selalu bereaksi dengan satu pola yang sama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share