Whoosh Terlalu Berat Ditanggung BUMN, Pemerintah Diminta Ambil Alih Pengelolaan

Whoosh Terlalu Berat Ditanggung BUMN, Pemerintah Diminta Ambil Alih Pengelolaan

Beban Kereta Cepat Whoosh dinilai terlalu berat bagi BUMN. Pemerintah didorong mengambil alih pengelolaan demi struktur pendanaan yang lebih sehat.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Dorongan agar pemerintah turun tangan langsung mengelola Kereta Cepat Jakarta Bandung kian menguat. Proyek yang dikenal dengan nama Whoosh ini dinilai terlalu berat jika terus dipanggul oleh badan usaha milik negara, baik dari sisi biaya pembangunan maupun operasional yang tak kecil. Beban itu selama ini menekan kinerja keuangan BUMN yang terlibat sejak awal.

Gagasan pengambilalihan oleh negara dipandang sebagai jalan keluar yang lebih masuk akal secara struktur pendanaan. Dengan pemerintah berada di depan, risiko keuangan proyek bisa lebih terkendali dan skema pembiayaan menjadi lebih rapi. Operasional kereta cepat pun diharapkan bisa berjalan efisien tanpa terus menggerus neraca BUMN. Saat ini, pengelolaan Whoosh berada di tangan PT kereta cepat Indonesia China.

Pengamat BUMN sekaligus Managing Director Lembaga Manajemen FEB UI, Toto Pranoto, menilai pengambilalihan beban proyek oleh pemerintah sebagai langkah yang logis dan rasional. Dalam pandangannya, peran PT Kereta Api Indonesia seharusnya difokuskan sebagai operator layanan kereta, sementara pembangunan dan kepemilikan prasarana berada di bawah kendali negara.

“Sudah benar kalau akhirnya pemerintah mengambil alih beban infrastruktur dari KCIC. Jadi KAI bertindak sebagai operator kereta api. Ini sudah sesuai Undang-Undang Kereta Api Nomor 23 Tahun 2007,” ujar Toto kepada wartawan, Selasa, 23 Desember 2025.

BACA JUGA:Angka Duka Terus Naik, Korban Bencana Sumatera Lewati 1.100 Jiwa

Dengan skema tersebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bisa dimanfaatkan sebagai penyertaan modal negara, baik kepada BUMN maupun lembaga baru yang ditunjuk khusus mengelola infrastruktur kereta cepat. Kehadiran entitas ini membuka ruang pembiayaan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan. Beban pembangunan tidak lagi menekan operator ataupun BUMN lain yang selama ini ikut terseret biaya konstruksi.

Dalam jangka panjang, lembaga penyelenggara infrastruktur ini memiliki sumber pendapatan yang jelas dari tariff access charge yang dibebankan kepada operator kereta api. “APBN bisa dipakai sebagai modal BUMN atau lembaga baru yang ditunjuk sebagai penyelenggara infrastruktur kereta api. Dalam jangka panjang, entitas ini bisa memperoleh pendapatan dari tariff access charge yang dibebankan kepada operator,” jelas Toto.

Menurutnya, pola semacam ini lazim diterapkan dalam sistem perkeretaapian modern. Skema tersebut memberi kepastian pendapatan bagi pengelola prasarana, sekaligus menjaga kelayakan bisnis operator. Dengan cara ini, sebagian biaya pembangunan prasarana Whoosh yang sebelumnya menjadi tanggungan kontraktor karya berpeluang mulai dicicil.

“Sebagian biaya infrastruktur pembangunan prasarana Whoosh yang ditanggung oleh kontraktor karya kemungkinan mulai bisa dibayar,” tambahnya.

BACA JUGA:Tahun Baru 2026 di Jakarta Tanpa Kembang Api, Pramono Anung Pilih Doa Lintas Agama

Di antara BUMN yang terlibat, posisi PT Wijaya Karya atau WIKA menjadi yang paling rumit dan rentan. Perseroan ini memikul dua peran sekaligus. Di satu sisi sebagai investor di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, di sisi lain sebagai kontraktor lokal tunggal dalam Konsorsium Kereta Cepat atau High Speed Railway Contractor Consortium bersama enam kontraktor asal China.

Sebagai investor, WIKA menanamkan modal sekitar Rp6,1 triliun. Nilai tersebut kini berubah menjadi beban kerugian yang menekan laporan keuangan perseroan. Kerugian operasional yang terus berulang dalam dua tahun terakhir tercermin dalam laporan keuangan triwulanan hingga tahunan WIKA.

Tekanan finansial kian terasa memasuki 2025. Pemangkasan anggaran infrastruktur pemerintah membuat volume proyek menurun, berimbas pada pendapatan. Di saat yang sama, beban bunga utang meningkat seiring jatuh tempo kewajiban pada September 2024 dan kembali membesar pada September 2025. Arus kas semakin ketat dan ruang gerak keuangan perseroan menyempit.

Dalam situasi tersebut, opsi restrukturisasi lanjutan melalui Rapat Umum Pemegang Obligasi dan Rapat Umum Pemegang Sukuk, termasuk penyesuaian nilai kupon, dipandang sebagai langkah yang realistis untuk menjaga kesehatan keuangan WIKA.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share