Peduli Politik Tapi Ogah Masuk Parpol, Begini Cara Anak Muda Jakarta Bertahan di Tengah Demokrasi Elite

Peduli Politik Tapi Ogah Masuk Parpol, Begini Cara Anak Muda Jakarta Bertahan di Tengah Demokrasi Elite

Riset terbaru memotret anak muda Jakarta peduli politik namun menjauh dari partai dan institusi di tengah demokrasi yang dikuasai elite.--Foto: IG @antonimakeithappen.

JAKARTA, PostingNews.id — Warga muda Jakarta sebenarnya tidak pernah benar-benar menjauh dari politik. Mereka mengikuti kabar publik, peduli pada isu sosial, dan datang ke tempat pemungutan suara saat pemilu digelar. Masalahnya bukan pada apatisme, melainkan pada ketiadaan saluran yang mereka anggap aman, masuk akal, dan berdampak. Kepedulian itu sering berhenti di kepala, tidak pernah sampai ke meja pengambil keputusan.

Gambaran itu muncul dari sebuah riset yang diluncurkan Pusat Riset dan Advokasi PRAKSIS pada Jumat 13 Desember 2025 di Jakarta. Riset berjudul Aspirasi Tanpa Institusi: Dinamika dan Alasan Ke-(tidak)-terlibatan Politik Warga Muda Jakarta ini dirilis bertepatan dengan satu tahun berdirinya PRAKSIS, lembaga riset dan advokasi yang berakar pada kerja-kerja sosial Serikat Jesus.

Alih-alih mengotakkan anak muda sebagai aktif atau pasif, riset ini justru memperlihatkan wajah lain partisipasi politik. Ada keterlibatan yang senyap, ada penarikan diri yang sadar, dan ada ketidakterlibatan yang lahir bukan dari sikap cuek, melainkan dari perhitungan rasional.

Penelitian dilakukan dengan metode campuran. Sebanyak 400 responden berusia 16 sampai 30 tahun di DKI Jakarta diwawancarai secara tatap muka menggunakan pendekatan computer-assisted personal interviewing atau CAPI. Temuan survei itu lalu diperdalam lewat diskusi kelompok terarah dengan 26 peserta dan dianalisis menggunakan pendekatan tematik refleksif.

BACA JUGA:Prabowo Sentil Pemegang Konsesi, Untung Dibawa ke Luar Negeri Rakyat Cuma Kebagian Debunya

Hasilnya menunjukkan pola yang konsisten. Warga muda Jakarta rajin mengikuti isu sosial dan politik, terutama lewat media sosial. Keadilan sosial, lingkungan hidup, dan kesejahteraan ekonomi menjadi topik yang paling sering mereka pantau. Namun, kedekatan dengan institusi politik nyaris tak ada.

Sebanyak 97 persen responden menyatakan tidak terafiliasi dengan organisasi politik apa pun, baik partai maupun organisasi sayapnya. Hampir semua juga mengaku jarang, bahkan tidak pernah, menyampaikan pandangan politik secara terbuka, terutama di ruang publik digital. Politik mereka hidup, tapi disimpan rapat.

Di titik ini, riset PRAKSIS menemukan satu paradoks penting. Hampir separuh responden mengaku muak terhadap politik. Sebagian besar lainnya merasa kecewa. Politik dianggap elitis, transaksional, dan terlalu jauh dari persoalan sehari-hari warga. Namun rasa muak itu tidak sepenuhnya memutus hubungan mereka dengan demokrasi elektoral.

Sekitar 76 persen responden tetap datang ke bilik suara saat pemilu. Mereka memilih, meski tanpa rasa memiliki. “Datang ke TPS, tetapi tidak merasa punya ruang untuk ikut menentukan arah kebijakan setelahnya,” demikian gambaran yang berulang muncul dalam diskusi kelompok terarah.

BACA JUGA:Perubahan Iklim Bikin Karang Angkat Bendera Putih, Dampaknya Menghantam Laut dan Manusia

Dalam situasi seperti itu, partisipasi politik warga muda kerap berhenti di hari pencoblosan. Setelah itu, tak ada kanal lanjutan yang mereka percaya bisa diakses tanpa risiko.

Media sosial menjadi arena utama mereka mengikuti politik. Namun ruang ini juga dipandang penuh jebakan. Banyak responden mengaku khawatir pada perundungan daring, serangan buzzer, pelabelan politik, hingga dampak sosial di lingkungan keluarga dan pertemanan. Risiko ini membuat ekspresi politik, terutama yang kritis, sering kali dipendam. Diam menjadi strategi bertahan hidup, bukan tanda tidak peduli.

Riset ini juga mencatat hambatan lain yang lebih membumi. Faktor ekonomi menjadi penekan yang nyata. Banyak warga muda harus memprioritaskan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Terlibat politik dianggap menyita waktu, berisiko, dan tidak menawarkan manfaat yang jelas. Ketika akses ke institusi politik juga dirasa berbelit dan tidak transparan, rasa tidak berdaya makin menguat.

Dalam konteks ini, ketidakterlibatan tidak lahir dari sikap masa bodoh. Ia muncul sebagai pilihan rasional di tengah sistem yang terasa tertutup.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share