Negara Baru Bergerak Setelah Korban Tumbang, Kasus Irene Disebut Femisida Sistemik
Kasus Irene Sokoy yang ditolak empat RS disebut sebagai femisida sistemik. Negara baru bergerak setelah korban meninggal dan audit diperintahkan.-Foto: Antara-
JAKARTA, PostingNews.id — Di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur, kabar dari Papua datang seperti tamparan keras. Seorang ibu hamil, Irene Sokoy, meninggal bersama bayinya setelah diduga ditolak empat rumah sakit.
Presiden Prabowo Subianto langsung merespons, bukan dengan kalimat manis, tapi dengan perintah audit besar-besaran. Bahasa halusnya audit, tapi nada pesannya jelas, negara sedang marah.
Instruksi itu disampaikan lewat Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian setelah laporan kasus masuk ke meja Istana. Tito bilang, “Perintah beliau untuk segera lakukan perbaikan dan audit. Kita tidak ingin ini terulang lagi.”
Pemerintah akhirnya mengaduk-aduk semua lapisan, bukan cuma rumah sakit negeri dan swasta, tetapi juga pejabat dinas kesehatan, sampai peraturan kepala daerah yang mungkin ikut-ikutan bikin alur pelayanan berbelit.
BACA JUGA:Gegara Isu Zionisme, PBNU Kini Bersih-bersih Internal
Di sisi teknis, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dikabarkan sudah mengirim tim investigasi ke Jayapura. Tim ini akan membongkar apa yang sebenarnya terjadi di ruang-ruang IGD yang seharusnya jadi penyelamat, bukan pintu kematian.
Sementara negara sibuk bicara audit, para aktivis tidak ingin tragedi Irene disederhanakan menjadi sekadar kasus kelalaian. Direktur Program Jakarta Feminist, Anindya Restuviani, memilih menyebut tragedi ini sebagai femisida.
Baginya, ini bukan lagi soal administrasi rumah sakit, tapi tentang perempuan yang mati karena sistem yang tak menganggap nyawa mereka serius.
“Berita perempuan di Papua yang meninggal karena tidak mendapatkan akses melahirkan, itu bisa kita sebut sebagai femisida. Karena ini tidak akan terjadi kepada laki-laki,” ujar Anindya.
BACA JUGA:Purbaya Benar, Restitusi Pajak Naik Hingga Capai 340 Triliun
Ia menjelaskan bahwa kematian Irene adalah cermin dari diskriminasi yang sudah mengakar dalam pelayanan publik. Perempuan dalam kondisi gawat darurat saja masih bisa ditolak, apalagi yang tak punya akses.
“Ini adalah femisida tidak langsung, yang terjadi akibat kerusakan sistemik yang menyebabkan perempuan tidak memperoleh layanan yang seharusnya menyelamatkan nyawa,” kritik Anindya.
Kronologinya sendiri menyesakkan. Irene yang sedang kontraksi pertama dibawa ke RSUD Yowari. Di sana dipingpong ke rumah sakit lain. Dari RS Dian Harapan ke RSUD Abepura, lalu RS Bhayangkara.
Penolakan diduga terjadi karena ruang BPJS penuh dan alasan administrasi yang entah kenapa selalu muncul ketika nyawa orang lagi di ujung tanduk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News