Ekonom Kompak Tegur Danantara, Katanya Jangan Jadi Keranjang Serba Ada

Ekonom Kompak Tegur Danantara, Katanya Jangan Jadi Keranjang Serba Ada

Aliansi Ekonom Indonesia menilai Danantara terlalu gemuk mandatnya, rawan tumpang tindih, dan bisa memicu konflik kepentingan hingga crowding-out sektor swasta.-Foto: YouTube Setpres.-

JAKARTA, PostingNews.id – Danantara lagi disorot, dan para ekonom rupanya tidak mau melewatkan kesempatan untuk memberi “rapor merah” mereka. Dalam diskusi yang digelar badan investasi pemerintah itu, Aliansi Ekonom Indonesia datang membawa daftar keluhan yang tidak pendek, sebagai kelanjutan dari Tujuh Desakan Darurat Ekonomi yang sudah ditandatangani ratusan akademisi.

Di forum itu, AEI diwakili oleh Yose Rizal D, Jahen F. Rezki, dan Teuku Riefky, sementara Danantara mengirim nama-nama seperti Muliaman Hadad dan Pandu Sjahrir. Melalui keterangan tertulis, AEI merangkum empat masalah besar yang mereka anggap sebagai akar persoalan Danantara, yaitu tumpang tindih mandat, ketidakjelasan pembiayaan, problem tata kelola, dan potensi dampaknya terhadap BUMN serta UMKM.

Yose Rizal mengingatkan bahwa kekuatan besar Danantara berpotensi menciptakan gangguan baru dalam iklim usaha. “Risiko dominasi negara dapat mengganggu kesehatan usaha domestik,” ujar Yose dalam keterangan tertulis, Selasa, 18 November 2025.

Menurutnya, struktur lembaga ini justru menghadirkan risiko institusional baru dan belum sanggup menjawab tantangan pembangunan. Ia menilai ada dua persoalan utama, yakni miskalokasi sumber daya akibat dominasi BUMN yang makin menekan daya saing usaha lokal, serta ketidakjelasan dasar pengambilan keputusan karena tidak berbasis indikator ekonomi yang transparan.

BACA JUGA:Baru Ditekan Sedikit Oleh Purbaya Cs, Para Pengemplak Pajak Langsung Gelontorkan Rp11 Triliun

Jahen F. Rezki menambahkan bahwa mandat Danantara terlalu luas dan rawan tumpang tindih. Dari urusan sovereign wealth fund hingga pembiayaan proyek pemerintah, semuanya ditumpuk dalam satu keranjang. Bagi Jahen, situasi ini hanya menimbulkan arah kebijakan yang kabur. “Danantara tidak boleh menjadi keranjang serba-ada. Mandat yang bertumpuk tanpa prioritas jelas berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan tata kelola yang lemah,” kata dia.

Dari sisi pendanaan, Teuku Riefky melihat persoalan lain. Sumber pembiayaan Danantara dinilainya tidak jelas dan malah bisa menciptakan crowding-out bagi sektor swasta. Ia mengingatkan bahwa Indonesia sudah menghadapi defisit fiskal selama dua dekade dan defisit transaksi berjalan dalam sebagian besar 15 tahun terakhir. 

Dengan kondisi seperti ini, pembentukan sovereign wealth fund dianggap tidak lazim. “Muncul kekhawatiran bahwa ekspansi pembiayaan Danantara justru menimbulkan crowding-out terhadap sektor swasta,” ujar Teuku.

Dengan kritik sebesar ini, Danantara tampaknya harus mulai memikirkan ulang bagaimana mereka menjelaskan diri sendiri kepada publik, sebelum ekonom satu negara kembali menggeleng.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share