Ramai Sebut Polisi Bisa Sadap Seenaknya di KUHAP Baru, DPR Bilang Itu Hoaks
DPR membantah isu KUHAP baru memungkinkan polisi menyadap seenaknya, menyebut informasi itu hoaks dan menegaskan izin pengadilan tetap wajib.-Foto: Antara-
JAKARTA, PostingNews.id — Ketua Komisi III DPR Habiburokhman berupaya meredam keresahan publik yang sejak pagi beredar di media sosial. Berbagai poster yang viral menyebut revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP bakal memberi ruang aparat kepolisian untuk bertindak seenaknya, mulai dari menyadap hingga mengotak-atik jejak digital warga tanpa izin hakim. Habiburokhman menepis semua itu sebelum rapat paripurna dimulai di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 18 November 2025.
“Beredar semacam poster di media sosial yang isinya tidak benar, disebutkan kalau RUU KUHAP disahkan, polisi bisa lakukan ini ke kamu tanpa izin hakim. Ini tidak benar sama sekali,” ujar Habiburokhman.
Poster yang dimaksud menggambarkan seolah aparat bisa diam-diam menyadap, merekam, sampai membuka komunikasi pribadi masyarakat begitu saja. Ia menjelaskan bahwa Pasal 136 ayat 2 KUHAP baru secara tegas menyebut penyadapan akan diatur lebih lanjut melalui undang-undang khusus. Ia menambahkan, aturan teknis penyadapan itu bahkan belum dibahas dan baru akan disusun setelah KUHAP resmi berlaku.
Politikus Gerindra tersebut mengakui, memang benar ada rumusan mengenai upaya paksa penyadapan dalam draf. Namun menurutnya, seluruh fraksi sepakat penyadapan harus diatur ketat dan tetap melalui izin pengadilan. “Jadi undang-undangnya belum ada, tapi sikap politiknya sudah ada soal penyadapan,” kata Habiburokhman.
BACA JUGA:DPR Resmi Ketok KUHAP Baru, Penolak Dipersilakan Menyambung Perjuangan ke MK
Ia kemudian menjelaskan isu lainnya yang ikut memicu kekhawatiran publik, mulai dari kewenangan memblokir rekening hingga menyita aset. Semua tindakan itu, tegasnya, tidak bisa dilakukan tanpa izin hakim. Pasal 140 ayat 2 KUHAP baru mengharuskan pemblokiran tabungan atau jejak digital melalui persetujuan ketua pengadilan negeri. Sedangkan Pasal 44 menegaskan setiap penyitaan harus mengantongi izin hakim terlebih dahulu.
Untuk penangkapan, penahanan, dan penggeledahan, ia menyebut KUHAP baru justru memberi pagar hukum lebih ketat. Pasal 94 dan 99 menetapkan penangkapan hanya bisa dilakukan jika ada minimal dua alat bukti. Penahanan pun hanya boleh dijalankan jika tersangka dua kali mangkir tanpa alasan sah, menghambat penyidikan, berusaha melarikan diri, memengaruhi saksi, mengulangi tindak pidana, atau saat keselamatannya terancam. Sementara penggeledahan berdasarkan Pasal 112 tetap memerlukan izin ketua pengadilan negeri.
Habiburokhman memastikan KUHAP baru ini, “jauh lebih objektif dibandingkan dengan apa yang diatur di KUHAP Orde Baru.” Ia menegaskan revisi ini adalah bagian dari pembaruan besar yang telah lama tertunda.
DPR bersama pemerintah sendiri dijadwalkan mengesahkan RUU KUHAP melalui rapat paripurna hari Selasa ini. Undang-undang baru tersebut akan menggantikan KUHAP lama, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, yang telah berlaku 44 tahun. Penyempurnaan aturan hukum acara pidana ini merupakan inisiatif DPR dan sudah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 serta kembali dalam daftar prioritas tahun 2026.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News