Legislator PKS Sindir Proyek Whoosh: Jangan Terjebak ‘Sayang Sudah Keluar Uang’

Legislator PKS Sindir Proyek Whoosh: Jangan Terjebak ‘Sayang Sudah Keluar Uang’

Legislator PKS Amin Ak sindir proyek Whoosh dan desak Presiden Prabowo percepat restrukturisasi utang agar tidak terjebak logika sayang sudah keluar uang-Foto: IG @aminakram_-

JAKARTA, PostingNews.id – Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Amin Ak, mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar segera mempercepat restrukturisasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh.

Dalam pandangannya, langkah cepat diperlukan agar negara tidak terus terjebak dalam pola pikir “sunk cost fallacy”, di mana kebijakan tetap dilanjutkan hanya karena sudah terlanjur menelan biaya besar, meskipun terbukti merugikan dan membebani rakyat.

Amin menyampaikan bahwa proyek kereta cepat ini sejak awal tidak layak baik secara ekonomi maupun sosial, namun terus berjalan seolah sudah tidak bisa dihentikan. “Sejak awal proyek ini tidak layak secara ekonomi maupun sosial, tetapi terus dijalankan karena sudah terlanjur berbiaya besar. Ini contoh klasik sunk cost fallacy dalam kebijakan publik,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, 31 Oktober 2025.

Menurut Amin, Whoosh kini justru menjadi simbol proyek megah yang tidak efisien. Total biayanya membengkak hingga USD7,9 miliar dengan utang ke China Development Bank mencapai USD5,5 miliar atau sekitar Rp90 triliun.

BACA JUGA:Sepuluh Pohon Tumbang di Jakarta, Pramono Janji Pangkas yang Sudah Tak Kuat Berdiri

Laporan keuangan 2024 bahkan mencatat kerugian sebesar Rp2,6 triliun. Bagi Amin, proyek ini telah menjadi beban jangka panjang bagi keuangan negara, bukan kebanggaan teknologi seperti yang dijanjikan.

Fraksi PKS, kata Amin, sejak awal sudah menolak proyek ini dengan tiga alasan besar:

  1. Prioritas APBN tidak tepat. Saat proyek disetujui, negara sedang fokus menangani dampak pandemi dan menopang rakyat kecil. Proyek infrastruktur berisiko tinggi tidak seharusnya jadi prioritas di tengah kondisi ekonomi yang rapuh.
  2. Inkonsistensi kebijakan. Presiden Joko Widodo pernah menegaskan proyek ini tidak akan menggunakan dana APBN maupun jaminan pemerintah, namun kenyataannya APBN ikut menanggung beban.
  3. Kesalahan kalkulasi investasi. Proyek yang disebutnya “ibarat sudah jatuh tertimpa tangga” ini justru memperburuk posisi fiskal negara di tengah meningkatnya utang.

Kritik terhadap Ego Politik Pembangunan

Amin menilai pemerintah sebelumnya terjebak dalam ego politik pembangunan. Ia menyindir bahwa proyek sebesar ini hanya menonjolkan gengsi, bukan kebutuhan. Dengan jarak Jakarta–Bandung yang hanya 142 kilometer, menurutnya, dampak ekonomi Whoosh tidak sepadan dengan biaya fantastis yang dikeluarkan.

"Seharusnya yang jadi prioritas adalah transportasi massal inklusif seperti commuter line atau kereta antar kota yang dirasakan langsung rakyat menengah ke bawah,” katanya.

Agar Whoosh tidak terus menjadi beban APBN, Amin menawarkan sejumlah langkah strategis, di antaranya restrukturisasi utang, monetisasi aset, dan efisiensi operasional. Pemerintah diminta untuk mengoptimalkan pendapatan non-tiket lewat skema rail plus property seperti yang diterapkan di Hong Kong. 

Selain itu, ia mendorong integrasi transportasi antar moda serta keterlibatan investor strategis dengan tata kelola yang transparan.

BACA JUGA:Drone Emprit: Tagar Positif MBG Ramai di X, Tapi Separuhnya Bukan Manusia

Amin juga mengusulkan dua alternatif tambahan untuk pengelolaan jangka panjang:

  1. Skema Joint Operation (JO) antara PT KAI atau KCIC dengan operator dari China. Pembagian pendapatan dilakukan secara proporsional disertai kewajiban transfer teknologi.
  2. Skema Build-Operate-Transfer (BOT) dengan durasi maksimal 50 tahun, menggunakan model ground lease agar aset tidak dijual. Evaluasi dilakukan setiap 10 tahun dan negara memiliki hak buy-back untuk menjaga kedaulatan aset.

Selain itu, Amin menyoroti kawasan Transit Oriented Development (TOD) di sekitar stasiun. Ia menegaskan agar pengelolaan kawasan ini dilakukan melalui badan bersama dengan pembagian area yang adil, termasuk 20 persen untuk publik dan perumahan terjangkau.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News