JAKARTA, PostingNews.id — Polemik soal ijazah Presiden Joko Widodo yang menyeret nama Roy Suryo, Dokter Tifa, dan Rismon Sianipar tak cuma berisik di ruang publik, tapi juga mulai dipreteli dari sisi hukumnya. Dari sudut itu, Mahfud MD masuk membawa pisau analisis. Tajam, dingin, dan langsung ke inti persoalan.
Bagi Mahfud, masalah ini bukan sekadar adu tafsir di media sosial atau saling bandingkan fotokopi yang buram. Yang dipersoalkan justru jauh lebih sederhana sekaligus fundamental. Ada atau tidak ada ijazah asli itu sendiri. Tanpa bukti primer tersebut, Mahfud menilai seluruh perkara berdiri di atas tanah rapuh.
“Ijazah itu asli atau tidak, tidak boleh bicara identik. Asli apa tidak? Mana aslinya? Karena apa, ini kan persoalannya intinya tuh ijazah asli atau palsu,” kata Mahfud dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Rabu 17 Desember 2025.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan itu menegaskan bahwa dalam hukum, cerita tidak cukup hanya diyakini. Ia harus dibuktikan. Narasi apa pun, setajam atau seramai apa pun, tetap wajib ditopang bukti yang kuat dan bisa diuji.
BACA JUGA:Upah Minimum 2026 Sudah di Depan Mata, Tenggat Kepastian Sampai 24 Desember
Dalam prinsip hukum perdata maupun pidana, Mahfud mengingatkan, beban pembuktian melekat pada pihak yang menuduh. Siapa yang melempar tudingan, dialah yang harus membuka kotak bukti. Namun di saat yang sama, pihak yang dituduh juga memiliki hak penuh untuk menyangkal dengan bukti tandingan.
“Misalnya, ini tuh palsu. Indikasinya ini, fotocopyannya ini. Kalau gitu mana dong aslinya. Tunjukkan, ya harus ditunjukkan dong,” ujar Mahfud.
Di titik ini, Mahfud menarik perhatian pada peran jaksa. Dalam konstruksi hukum acara, jaksa bukan sekadar penuntut, melainkan pengacara negara yang memikul tanggung jawab memastikan keadilan berjalan seimbang. Jaksa, menurut Mahfud, semestinya aktif mencari dan menghadirkan ijazah asli itu agar perkara tidak berputar-putar di asumsi.
Jika bukti kunci tersebut tak pernah bisa dimunculkan, Mahfud menilai hakim punya dasar kuat untuk menghentikan perkara. Tanpa fondasi pembuktian, proses hukum berpotensi kehilangan legitimasi sejak awal.
“Dia menyatakan ini asli, aslinya enggak pernah ada. Hakim harus minta ke jaksa, ini kan tuduhannya Pasal 1310, 1311, kemudian UU ITE 27, 28 gitu,” kata Mahfud.
BACA JUGA:Grup WhatsApp Mas Menteri Dibongkar, Nama Kakak Najwa Shihab Ikut Muncul di Kasus Chromebook
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga menolak cara berpikir yang langsung menyeret Roy Suryo dan kawan-kawan ke ruang vonis fitnah, sementara barang bukti utama justru tak pernah dihadirkan. Menurutnya, pendekatan semacam itu berbahaya dan bisa menabrak rasa keadilan.
Bagi Mahfud, perkara ini tak bisa disederhanakan sebagai urusan individu semata. Jika hukum dipaksakan berjalan tanpa memenuhi syarat pembuktian yang paling mendasar, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib para terdakwa, tetapi juga prinsip perlindungan hak asasi.
“Saya katakan, pelanggaran Hak Asasi Manusia ini bukan urusan Suryo, urusan Tifa, urusan Rismon, tetapi masa depan bangsa ini yang dipertaruhkan,” tegas Mahfud.
Di titik itulah Mahfud menutup analisanya. Bukan dengan emosi, melainkan peringatan. Ketika hukum kehilangan pijakan bukti, yang runtuh bukan hanya satu perkara, melainkan kepercayaan pada sistem itu sendiri.