JAKARTA, PostingNews.id — Sudah sejak lama Jepang sadar betul bahwa mereka tinggal di atas panggung hiburan alam paling sibuk se-Pasifik. Negara ini berdiri manis di cincin api, sehingga gempa besar datang silih berganti seperti jadwal konser. Dari gempa Kanto tahun 1923 bermagnitudo 7,9, gempa Hanshin atau Kobe pada 1995 bermagnitudo 6,9, sampai gempa Tohoku yang mengguncang pada 2011 dengan magnitudo 9,1 lengkap dengan kiriman tsunami.
Rentetan itulah yang membuat pemerintah dan warganya memutuskan bahwa hidup berdampingan dengan bencana lebih realistis daripada menunggunya berhenti. Lahirlah budaya Bosai atau budaya siaga bencana yang setara dengan disiplin harian. Pendekatan ini bukan sekadar imbauan, melainkan pilihan hidup yang dipegang bersama.
Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia IABI, Harkunti, menjelaskan bahwa konsep Bosai telah melekat hingga ke akar masyarakat Jepang. “Bosai itu sudah jadi budaya. Mulai dari pencegahan sebelum bencana, saat bencana, hingga pascabencana, semuanya ditata dan melibatkan banyak institusi,” ujar Harkunti kepada wartawan, Selasa 9 Desember 2025.
Di Jepang, Bosai bukan sekadar agenda rutin tahunan. Ia tumbuh menjadi filosofi yang dianggap sama pentingnya dengan pendidikan formal. Filosofi ini menanamkan kebiasaan dan refleks keselamatan yang otomatis menyala ketika sirene berbunyi. Dari rumah tangga sampai kantor, semua tahu apa yang harus dilakukan sebelum bertanya dulu.
BACA JUGA:Dedi Tutup Tambang Lereng Gunung setelah Bandung Kebanjiran
Implementasi budaya Bosai terlihat dari keseriusan mereka mempersiapkan berbagai jalur. Edukasi, pelatihan rutin, hingga peralatan seperti ransel darurat menjadi standar umum. Ada pula tindakan cepat yang berjalan otomatis saat bencana terjadi. Ini bukan karena warga panik, melainkan karena mereka sudah hafal langkahnya seperti hafal arah rumah.
Ancaman yang mereka hadapi juga bukan satu menu. Selain gempa bumi dan tsunami, Jepang harus terus waspada dengan topan serta letusan gunung berapi yang bisa muncul kapan saja. Maka mereka memilih jalur inovasi. Sistem peringatan dini J Alert dikembangkan, pendidikan kebencanaan diberikan sejak usia dini, dan latihan evakuasi dilakukan seperti olahraga pagi.
Anak sekolah diajari cara berlindung saat gempa. Lingkungan mengadakan latihan evakuasi rutin. Tas siaga bencana menjadi barang umum berisi P3K, makanan, dokumen penting, senter, radio hingga peralatan darurat lain. Bahkan, tempat tidur darurat dari kardus dipakai di pengungsian tanpa malu. Simpel dan efektif.
Semua elemen itu menghadirkan satu hal. Ketika bahaya muncul, respons masyarakat Jepang bekerja cepat dan tepat. Tidak perlu banyak komando.
BACA JUGA:Bos Drone Masuk Bui! Gedung Canggih di Kemayoran Berubah Jadi 'Oven' Maut, Kok Bisa?
Antara Indonesia dan Jepang saat Menghadapi Bencana
Harkunti menilai budaya Bosai telah mengakar kuat dan sistem peringatan dini di Jepang sangat responsif. Warga dapat langsung mengevakuasi diri begitu peringatan keluar, tanpa perlu menunggu siapa pun menyuruh.
Peran swasta pun tidak main main. Minimarket dan konbini menjadi partner darurat. Ketika bencana melanda, pintu toko bisa terbuka otomatis untuk warga yang butuh makanan. “Semua orang boleh ngambil makan secepatnya. Mereka memiliki perjanjian dan enggak pakai ribut dulu,” ujarnya. “Mereka juga ada perjanjian antara pemerintah dengan semua minimarket,” jelasnya.
Berbeda dengan Jepang, Indonesia menghadapi tantangan yang lebih berliku. Harkunti mengatakan upaya peringatan dini sudah membaik dan respons secara umum lumayan. Namun, di tingkat daerah, banyak yang masih tersendat karena tidak siap. “Di tingkat daerah, masih tergagap-gagap karena belum siap. Nah, yang tergagap-gagap itu di pemerintah daerah ya,” ungkapnya.
Selain itu Jepang tidak selalu bergantung pada pemerintah pusat. Mereka memiliki asosiasi antarkota yang saling membantu seperti aglomerasi yang bekerja tanpa banyak bicara. “Satu hal di Jepang yang beda itu, tidak selalu mengandalkan pusat. Karena mereka memiliki asosiasi antar-kota yang berdekatan. Seperti aglomerasi dan mereka saling dukung,” lanjutnya.