DPR Mau 'Dibuang' dari Pemilihan Kapolri? Nasir Djamil Teriak: Suara Rakyat Dikemanain, Bos?

Kamis 11-12-2025,15:30 WIB
Reporter : Reynaldi
Editor : T. Sucipto

POSTINGNEWS.ID --- Wacana Panas yang Bikin Senayan Gerah Sobat, bayangkan kalau posisi paling strategis penegak hukum di negeri ini, yakni Kapolri, dipilih suka-suka oleh satu orang saja tanpa ada yang boleh protes atau review. Ngeri-ngeri sedap, kan? Nah, isu inilah yang lagi bikin gedung parlemen Senayan memanas.

Usulan dari Persatuan Purnawirawan (PP)

BACA JUGA:Kritik Ijazah Jokowi Dibalas 'Giveaway' Tambang? Ide Gila Farhat Abbas Bikin Kapolri Melongo!

Polri yang menyarankan agar Presiden punya hak prerogatif penuh alias hak mutlak menunjuk Kapolri tanpa campur tangan DPR, sukses memantik kontroversi. Di satu sisi, tujuannya biar Kapolri nggak punya utang budi politik. Tapi di sisi lain, usulan ini dianggap "kudeta" halus terhadap hak rakyat. Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, langsung pasang badan dan menolak mentah-mentah ide yang dianggap mencederai prinsip demokrasi ini.

Suara Rakyat vs "One Man Show"

BACA JUGA:Banyak Warga Pilih Lapor ke Damkar daripada Polisi, Kapolri Langsung Angkat Bicara dan Umumkan Langkah Besar Perbaikan Layanan 110!

Nasir Djamil nggak main-main dalam kritiknya. Menurut politisi PKS ini, Polri itu bukan milik Presiden semata, tapi milik rakyat Indonesia. Gajinya dari pajak rakyat, kerjanya melayani masyarakat. Jadi, wajar dong kalau rakyat—lewat wakilnya di DPR—ikut andil menyeleksi siapa bos polisi selanjutnya?

"Jika tidak mendapat persetujuan parlemen, di mana suara rakyat?" tanya Nasir retoris.

Poin yang mau disampaikan Nasir jelas: DPR adalah "filter" terakhir. Kalau filter ini dicopot, Presiden bakal jadi single player atau one man show. Risiko penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) bakal meroket. Bayangkan kalau Kapolri cuma loyal ke Presiden tapi abai sama aspirasi publik karena merasa nggak butuh legitimasi parlemen. Bahaya banget, Sob!

Mitos "Beban Politik" dan Realita Pengawasan

BACA JUGA:Kapolri Minta Brimob Tajamkan Intelijen, Biar Tak Kalah Cepat Sama Ancaman

Alasan para senior purnawirawan, termasuk mantan Kapolri Da'i Bachtiar, sebenarnya masuk akal. Mereka khawatir proses di DPR malah jadi ajang transaksi politik atau "balas jasa". Tapi menurut Nasir, menghapus peran DPR itu ibarat sakit kepala tapi yang dipotong malah lehernya. Solusinya nggak nyambung!

Persetujuan DPR itu bukan soal pamer kekuasaan dewan, tapi mekanisme check and balance. Polri saat ini sudah punya kewenangan super luas, mulai dari penyidikan sampai ketertiban umum. Lembaga se- powerful ini harus diawasi ketat. Fit and proper test di DPR adalah momen krusial di mana rekam jejak calon dikuliti habis-habisan.

"Aspirasi orang per orang dan kelompok masyarakat tentang calon Kapolri masuk lewat pintu ini," ujar Nasir. Kalau pintu ini ditutup, siapa yang bakal jamin calon Kapolri itu bersih? Siapa yang bakal nanya soal kasus-kasus mangkrak atau pelanggaran HAM masa lalu calon tersebut?

Reformasi Polri: Salah Resep?

BACA JUGA:Wakapolri: Puslitbang Harus Jadi Api Perubahan Polri dan Motor Reformasi Berbasis Riset

Perdebatan ini sebenarnya membuka kotak pandora soal reformasi Polri. Banyak pihak menilai kalau masalah utama Polri sekarang itu bukan di "siapa yang milih", tapi di kultur internalnya. Publik lebih butuh polisi yang nggak pungli, penegakan hukum yang nggak tajam ke bawah tumpul ke atas, dan sistem promosi yang transparan.

Mengubah aturan pemilihan Kapolri dengan menyingkirkan DPR justru dinilai sebagai langkah mundur. Bukannya memperbaiki sistem, malah berpotensi menciptakan "Superbody" baru yang tak tersentuh kritik. Sejumlah pengamat hukum pun sepakat dengan Nasir, bahwa konstitusi kita mendesain adanya keseimbangan kekuasaan. Presiden pegang kendali, DPR pegang pengawasan. Kalau salah satu timpang, negara yang oleng.

BACA JUGA:Keluarga Marsinah Bangga Kapolri Peduli Buruh: Seperti Perjuangan Adik Kami

Kategori :