JAKARTA, PostingNews.id — Di tengah riuh dunia membahas perubahan iklim sambil tetap rebutan kuota bansos, perhatian orang sering cuma nyangkut di hutan darat sebagai pahlawan penyedot karbon. Padahal, di garis pantai dan bawah laut, ada pasukan kecil yang kerjanya lebih tenang tapi jauh lebih gesit. Mereka tidak nongol di spanduk lingkungan, tidak pula bikin drama, tetapi justru memikul beban terbesar menjaga napas planet ini.
Istilah karbon biru mungkin kedengarannya seperti nama cat motor hasil modifikasi, tapi sebenarnya inilah kode untuk karbon yang ditangkap dan disimpan ekosistem pesisir. Di saat manusia makin rajin memompa CO2, para “pekerja basah” ini dengan sabar mengurungnya di lumpur dan akar. Laut memang sudah lama dikenal sebagai gudang penampung CO2, tetapi ada kelompok ekosistem yang bekerja lebih telaten, mengunci karbon sampai usianya kalah-kalahin arsip kelurahan.
Kalau mereka sehebat itu mengumpulkan dan menyimpan karbon, wajar kalau muncul pertanyaan siapa sebenarnya trio pekerja lapangan karbon biru ini dan seberapa besar kontribusi mereka bagi lingkungan serta warga pesisir yang setiap hari berhadapan langsung dengan perubahan iklim?
Trio Penjaga Karbon dari Lautan
Meski seluruh laut ikut menyerap karbon, istilah “karbon biru” khusus disematkan pada tiga ekosistem pesisir utama yaitu bakau, lamun, dan rawa asin. Trio ini dijuluki Tiga Besar bukan karena sok, tetapi karena efisiensi mereka menangkap dan menyimpan karbon kalah-kalahin hutan darat. Mereka menyimpan karbon di biomassa dan terutama sedimen di bawahnya yang bisa mengurung karbon ratusan sampai ribuan tahun.
Vegetasi pesisir ini hidup di zona intertidal dan perairan dangkal yang tergenang air asin. Mangrove, dengan akar menjulang seperti kaki laba-laba, mendominasi pantai tropis. Rawa asin berkembang di wilayah beriklim sedang. Sementara lamun, si tanaman berbunga akuatik, tumbuh hampir di seluruh belahan dunia. Ekosistem ini tersebar di setiap benua kecuali Antartika, menutup kira-kira 51 juta hektar garis pantai global.
BACA JUGA:Memahami Motivasi Pasukan “Suka Repot” di Banjir Sumatera yang Tak Pernah Lelah
Para ilmuwan memfokuskan definisi karbon biru pada tiga ekosistem ini karena perhitungan dan pemantauannya lebih mudah dilacak. Kapan karbon ditangkap, seberapa cepat dikubur, dan berapa lama ia disimpan, semuanya bisa diamati dengan relatif jelas.
Jika dibandingkan karbon hijau di hutan darat, karbon biru menyimpan lebih banyak karbon per satuan luas. Lingkungannya yang jenuh air dan minim oksigen bekerja seperti lemari besi alami yang memperlambat pembusukan. Padang lamun dan rawa asin bahkan bisa menyimpan lebih dari 95 persen karbonnya di bawah permukaan sehingga aman dari gangguan. Tidak ada risiko kebakaran hutan yang membuat asapnya bikin se-RT batuk.
Secara total, ekosistem karbon biru menyimpan sekitar 12 miliar metrik ton karbon secara global. Setiap tahun, mereka menambah 81 juta metrik ton lagi ke tabungan karbon bumi.
Makhluk laut lain seperti fitoplankton, hutan kelp, dan terumbu karang juga ikut dalam siklus karbon. Fitoplankton menyerap seperempat CO2 di udara tetapi sebagian besar karbonnya kembali lepas saat mereka mati. Terumbu karang pun punya dilema sendiri karena proses pembentukan kerangkanya melepaskan CO2 meskipun menyimpan sebagian karbon untuk pertumbuhan.
BACA JUGA:Geng UGM Menyeru PBNU Agar Kembali ke Jalan Teduh, Bukan Jalan Tambang
Meski begitu, semua ekosistem ini tetap fondasi kesehatan laut dan membantu melindungi Tiga Besar karbon biru di sekitarnya.
Padang rumput lamun Posidonia oceanica di Mediterania menjadi contoh bagaimana tumbuhan laut sebetulnya sudah bekerja lembur tanpa diminta. Para ilmuwan di Max Planck Institute of Marine Microbiology menilai temuan mereka relevan untuk berbagai lingkungan laut bervegetasi termasuk lamun lain, bakau, dan rawa asin.
Benteng Pesisir yang Diam-Diam Kerja Rodi