JAKARTA, PostingNews.id — Di buku pelajaran, hutan hujan tropis sering digambarkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka disebut benteng terakhir yang menyerap karbon dan menahan laju pemanasan global. Gambaran itu begitu sering diulang sampai-sampai dunia menganggap hutan tropis sebagai tabungan hijau yang tak bakal habis. Pohon tumbang diganti pohon baru, karbon yang lepas diserap lagi. Seolah siklusnya rapi seperti teori di kelas.
Namun keyakinan lama itu sekarang terguncang keras. Bukan oleh hutan Amazon atau Kongo, melainkan oleh hutan di tetangga sebelah, Australia, yang belakangan memberi kabar yang jauh dari menyenangkan. Sebuah studi terbaru yang terbit dalam jurnal ilmiah Nature menyodorkan kenyataan yang tak pernah dibayangkan: hutan hujan tropis Australia kini sudah bukan lagi penyerap karbon bersih, tetapi justru berubah menjadi pengemisi karbon.
Temuan ini bukan hasil pengamatan seminggu dua minggu. Peneliti mengumpulkan data hampir setengah abad, 49 tahun tepatnya, dari 20 hutan di Queensland. Selama periode itu, suhu ekstrem terbukti mendongkrak angka kematian pohon jauh di atas kemampuan regenerasinya. Dengan kata lain, pohon-pohon yang mati melepaskan lebih banyak karbon daripada yang bisa ditambal oleh pohon-pohon baru.
Pertanyaan besarnya pun muncul. Jika hutan tropis yang selama ini menjadi sekutu utama dalam perang melawan perubahan iklim justru ikut menyumbang polusi, apa artinya bagi upaya global yang sudah tersendat sejak lama.
BACA JUGA:Untuk Pertama Kalinya Mikroplastik Ditemukan di Perut Primata, Pelakunya Monyet Howler Merah
Penelitian ini menggambarkan kondisi yang disebut para ilmuwan sebagai alarm dini, semacam penanda bahaya seperti burung kenari yang dibawa para pekerja tambang. Batang dan cabang pohon mati atau woody biomass ternyata sudah mulai menjadi pengemisi sejak sekitar 25 tahun lalu. Dr. Hannah Carle dari Western Sydney University, penulis utama studi tersebut, menilai temuan ini memiliki dampak besar untuk target iklim dunia. “Model-model saat ini mungkin melebih-lebihkan kapasitas hutan tropis untuk membantu mengimbangi emisi bahan bakar fosil” jelas Dr. Carle, seperti dikutip BBC.
Menurut Dr. Carle, lonjakan kematian pohon dalam beberapa dekade terakhir tidak terpisah dari perubahan iklim yang semakin terasa. Suhu makin ekstrem, udara makin kering, musim kemarau makin panjang. Di sisi lain, frekuensi dan kekuatan siklon juga meningkat, mematahkan pohon-pohon dewasa yang sebelumnya menjadi penyangga ekosistem.
Dr. Carle menambahkan bahwa bukti yang mereka kumpulkan menunjukkan perubahan besar ini tidak terjadi di sembarang hutan. “Kami memiliki bukti dalam studi ini bahwa hutan tropis lembap Australia adalah yang pertama dari jenisnya secara global yang menunjukkan perubahan [woody biomass] ini… Dan itu benar-benar signifikan. Ini bisa menjadi semacam ‘burung kenari di tambang batu bara’” katanya.
Penulis senior penelitian ini, Patrick Meir, sepakat dengan kekhawatiran itu. Ia menyebut hasil studi ini “sangat mengkhawatirkan.” Kepada AFP, ia menyampaikan bahwa “kemungkinan besar semua hutan tropis akan merespons dengan cara yang cukup serupa” meskipun penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk memastikan dugaan tersebut.
BACA JUGA:Orangutan Tapanuli Ketahuan Punya Markas Kedua, Jauh dari Batang Toru Tapsel
Temuan ini memperberat tekanan terhadap Australia, negara yang dikenal sebagai salah satu pencemar per kapita terbesar di dunia. Meski telah mengumumkan target pemangkasan karbon baru—yakni memotong emisi setidaknya 62 persen dibanding tahun 2005 untuk dekade ke depan—kebijakan lingkungan negeri tersebut tetap disorot. Kritik makin keras karena Australia masih mengandalkan bahan bakar fosil dan tetap mengizinkan proyek gas besar North West Shelf milik Woodside beroperasi hingga empat dekade mendatang.
Laporan terbaru bulan lalu juga menambah panjang daftar kegentingan iklim Australia. Negara itu resmi melewati ambang pemanasan 1,5 derajat Celsius, dengan risiko yang disebut para ilmuwan sebagai “berjenjang, berlipat ganda, dan serentak.” Ancaman itu kini menghampiri komunitas di seluruh negeri, sementara hutan yang dulu dikenang sebagai penjaga iklim malah ikut mengirim sinyal bahaya.