JAKARTA, PostingNews.id — Orang sering santai saja membayangkan hutan akan baik-baik saja selama penebangan pohon ditertibkan dan api tidak lagi berkobar. Padahal hutan, terutama yang tropis, bukan sekadar pemandangan hijau yang fotogenik buat unggahan medsos. Ia adalah ekosistem hidup yang berdenyut karena ribuan hewan bergerak, makan, kawin, buang kotoran, dan menyebarkan biji.
Masalahnya, para penghuni asli itu satu per satu menghilang. Banyak spesies meluruh lebih cepat dari sinyal WiFi kos-kosan. Penelitian terbaru menunjukkan, tanpa hewan, hutan tropis akan kehilangan kemampuan alamiahnya menghadapi kerusakan iklim. Hutan sehat itu penuh makhluk hidup, bukan cuma batang pohon yang diam seperti pagar sekolah.
Kini banyak hutan mengalami “krisis tenaga kerja” karena hewan berukuran besar berkurang drastis. Penyebabnya klasik, perburuan yang makin ramai karena permintaan daging satwa liar terus naik. Belum cukup, deforestasi untuk pertanian dan penebangan membuat hutan terpotong-potong menjadi kotak-kotak kecil yang tak cukup menampung satwa besar yang butuh ruang gerak luas.
Fenomena hilangnya hewan dari wilayah yang sebenarnya masih terlihat hijau inilah yang disebut defaunasi. Akibatnya muncul “hutan kosong”, sepetak wilayah yang di atas kertas masih hutan, tapi isinya seperti pasar tradisional yang dagangnya mogok.
BACA JUGA:PBB Nobatkan Jakarta Kota Terpadat Dunia, Rasanya Sudah Begitu Sejak Sebelum Ada Laporan
Bukan cuma di tropis. Negeri sekelas Inggris pun sudah kehilangan hewan besar seperti lynx, serigala, sampai burung wisent. Populasi burung hutan ambruk seperempat sejak 1970. Banyak penelitian pernah menyinggung soal ini, tapi skalanya kecil dan terpisah-pisah.
Karena itu peneliti dari University of Kent menggandeng WWF UK untuk melakukan meta-analisis global dari berbagai studi terkait lenyapnya fauna hutan. Hasilnya bikin kening berlipat. Hilangnya hewan ternyata langsung mengganggu kemampuan hutan untuk tumbuh kembali. Yang paling fatal terjadi saat burung dan primata menghilang. Dua kelompok ini adalah kurir alamiah yang bertugas menyebarkan biji.
Pohon berbuah bukan hanya untuk gaya-gayaan, melainkan untuk memancing hewan datang lalu membawa bijinya jauh dari induk. Jika pemakan buah punah, biji tak ke mana-mana dan regenerasi tersendat. Lama-lama komposisi hutan berubah. Pohon yang bergantung pada hewan pun menghilang, digantikan spesies yang bijinya menumpang angin. Pohon jenis ini umumnya lebih pendek dan menyimpan karbon lebih sedikit.
Inilah awal penurunan kapasitas penyimpanan karbon hutan, bahkan jika deforestasi sudah berhasil dihentikan total. Padahal vegetasi dan tanah menyerap sekitar 20 persen emisi karbon dioksida buatan manusia, dan setengah dari serapan itu berasal dari hutan tropis. Kalau hutan melemah, kemampuan bumi mengimbangi emisi runtuh pelan-pelan.
BACA JUGA:Tiga Bupati di Aceh Angkat Tangan Atasi Banjir, Tito: Enggak Nyerah-nyerah Banget Kok
Program global seperti REDD+, yang memungkinkan negara maju membayar negara tropis untuk menjaga hutannya, sangat bergantung pada kemampuan hutan menyimpan karbon secara stabil. Masalahnya, citra satelit tak bisa melihat apa yang terjadi di bawah kanopi. Defaunasi tak tampak dari luar, tapi efeknya seperti rayap di kaki meja.
Karena itu penelitian ini menegaskan perlunya memasukkan kehilangan fauna sebagai indikator utama dalam pengelolaan karbon hutan. Melindungi seluruh spesies hewan bukan lagi agenda lucu-lucu para pecinta alam. Ini soal menyelamatkan fungsi dasar hutan.
Upaya perlindungan tidak cukup dengan patroli dan spanduk larangan berburu. Harus ada investasi pada program konservasi yang menyediakan sumber protein alternatif bagi masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada daging satwa liar. Tanpa solusi kebutuhan dasar, larangan hanya akan jadi tulisan yang ditempeli stiker.
Mengatasi defaunasi memang bukan pekerjaan semalam. Namun jika hutan ingin terus bekerja sebagai penyerap karbon yang kuat, kelengkapan jenis hewan adalah syarat mutlak. Menjaga satwa liar bukan cuma tentang melindungi keindahan alam, tetapi tentang memastikan manusia tidak terseret lebih jauh ke jurang krisis iklim.