BACA JUGA:Kisah Sedih Epy Kusnandar: Lawan Stroke, Hadapi Tumor, hingga Akhirnya Berpulang di Usia 61
Udara pun tak kalah sesak. Kombinasi emisi kendaraan dan industri membuat kualitas udara di Jakarta bertahan di angka yang bikin dahi berkerut. Saat berita ini ditulis, indeks kualitas udara berada di angka 131—kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Solusi Pemprov: Dari Transportasi Massal sampai Smart City
Meski tidak semua persoalan terpecahkan, Pemprov DKI mengklaim sudah menyiapkan langkah-langkah menekan kepadatan dan dampaknya. Salah satunya dengan memperluas transportasi massal: MRT, LRT, Transjakarta, hingga sistem integrasi moda seperti TOD dan JakLingko. Pembatasan kendaraan pribadi melalui ganjil-genap dan pembatasan kepemilikan juga ikut diterapkan.
Imbasnya terasa pada peningkatan pengguna Commuter Line, terutama di stasiun transit besar seperti Manggarai dan Tanah Abang. Seorang pengguna kereta dari arah Bogor menggambarkan alasannya bertahan di rel ketimbang jalan raya. “Per hari paling cuma keluar duit Rp15 ribu. Kalau pakai kendaraan, bisa gocap buat dua hari doang,” ujarnya.
Pemprov juga mengembangkan Jakarta Smart City. Lewat platform seperti JAKI dan JakLingKo, ditambah Smart Pole 5G dan teknologi AI, mereka mengklaim bisa memantau kondisi lalu lintas, polusi udara, kebisingan, suhu kota, hingga mengelola sumber daya air sebagai mitigasi banjir.
BACA JUGA:Sejarah Panjang Sawit di Asia Tenggara: Untung Mengalir, Hutan Menghilang
Terobosan yang dibuat pemerintah memang membantu, tapi belum tentu menyentuh akar persoalan. Jangkauan transportasi massal misalnya, masih belum merata hingga ke kawasan perumahan. Banyak warga tetap harus memakai ojek daring sebelum mencapai halte atau stasiun terdekat.
“Integrasi ke transumnya kebanyakan masih harus pakai ojol,” keluh seorang pengguna transportasi umum.
“Jadi ya meringankan, tapi ada beratnya juga,” ia menambahkan.
Bagaimana Tetap Bertahan Hidup Nyaman di Kota Sesak?
Menurut Pengamat Tata Kota M. Azis Muslim, tantangan terbesar Jakarta ke depan adalah menjaga kenyamanan hidup warganya agar tidak terkikis perlahan oleh kepadatan. Menjawabnya memang “gampang-gampang susah”, ujarnya sambil tertawa.
Baginya, keberlanjutan transportasi publik yang terpadu adalah kunci, karena langsung memengaruhi waktu tempuh warga yang setiap hari bergerak ke berbagai penjuru metropolitan. Teknologi manajemen lalu lintas juga dianggap penting untuk mengurai kepadatan dan mengurangi polusi secara proporsional.
“Sudah sedikit banyak mengurangi kemacetan, dan juga bisa mengatasi permasalahan polusi udara,” papar Azis.
Ia menekankan pentingnya ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota dan wadah interaksi sosial. Selain itu, kawasan kumuh harus ditata ulang dengan pendekatan relokasi yang tetap memanusiakan manusia. “Tetap menjaga keberlangsungan dan berkelanjutan hidup,” tutup Azis.